Salah Kaprah

0
448 views
Ilustrasi - Siraman.

Renungan Harian
Sabtu, 2 Juli 2022
Bacaan I: Am. 9: 11-15
Injil: Mat. 9: 14-17

BEBERAPA
waktu yang lalu, ada saudara yang hendak menikahkan anaknya. Beberapa hari menjelang hari H, saya diundang untuk pertemuan keluarga membicarakan persiapan akhir upacara perkawinan.

Saudara-saudara yang didhapuk (dipercaya) menjadi panitia berkumpul semua, karena memang hari itu adalah pertemuan terakhir.
 
Kami semua membicarakan berbagai hal dari hal-hal besar seperti upacara pemberkatan di gereja, catatan sipil sampai hal-hal kecil berkaitan dengan kendaraan dan lain-lain.

Saat membicarakan “midodareni” upacara sehari sebelum pernikahan mulai ada sedikit perbedaan menyangkut waktu dan acara.

Acara midodareni akan menggunakan tata cara adat Jawa dengan siraman dan sebagainya sedangkan puncaknya dengan Perayaan Ekaristi.

Karena waktu yang terasa kurang, maka ada usulan agar Perayaan Ekaristi dibatalkan. Bahkan ketika ada yang usul diganti dengan ibadat juga ditolak oleh salah seorang keluarga yang mementingkan adat Jawa.
 
Saat saya ditanya sebaiknya bagaimana, maka saya bertanya soal tujuan adanya semua tradisi dan adat yang akan dijalani. Sayang pada saat itu tidak ada yang bisa menjelaskan dengan baik tentang tujuan dari semua upacara adat yang harus dijalani, kecuali bahwa karena merasa bahwa mereka keluarga Jawa maka semua adat itu harus dijalani.

Saudara yang mengusulkan menghilangkan Perayaan Ekaristi pun tidak dapat menjelaskan dan semua usulan itu hanya berdasarkan apa yang pernah dia lihat tanpa mengerti makna di balik semua simbol itu.

Maka saya mengusulkan agar adat tatac ara yang dipakai yang pokok saja yang sungguh-sungguh dimengerti maknanya. Dan saya mengusulkan tetap ada Perayaan Ekaristi, karena itu sebagai pusat hidup kita semua.

Dengan berbagai penjelasan akhirnya diterima.
 
Persoalan muncul lagi ketika membicarakan acara berziarah ke makam leluhur. Saya tidak keberatan dan setuju dengan acara ziarah ke makam leluhur. Akan tetapi yang tidak saya setujui adalah tujuan ke makam leluhur untuk minta doa restu.

Saya meminta agar ziarah ke makam leluhur tidak dimaknai dengan meminta sesuatu dari yang sudah meninggal. Tetapi ke sana untuk mendoakan yang sudah meninggal dan bersyukur pada Allah atas kasih Allah yang hadir dalam keluarga melalui para leluhur yang sudah mendahului kita.

Penjelasan ini agak aneh bagi mereka karena selama ini pemahaman mereka bahwa ziarah ke makam leluhur untuk minta doa restu dan minta hal-hal lain.
 
Pengalaman dengan dua peristiwa di atas menyadarkan saya bahwa banyak hal yang menjadi “salah kaprah”. (salah tetapi sudah berlangsung dan dianggap sebagai kebenaran) di antara orang Katolik. Minimal yang terjadi dengan keluarga saya ini.

Banyak yang menjalankan adat istiadat tanpa tahu betul makna dibalik adat istiadat itu dan banyak yang mencampur adukan pengalaman iman Katolik dengan pemahaman-pemahaman adat yang lama.
 
Hal itu kiranya yang menjadi kritik Yesus dalam sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius.

Sudah mengimani Kristusm tetapi belum berani meninggalkan kebiasaan lama atau tidak berani memberi pemaknaan baru dari kebiasaan lama.

“Tak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabik baju itu lalu makin besarlah koyaknya.

Begitu pula anggur yang baru tidak diisikan ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian kantong itu akan koyak. Sehingga anggur itu terbuang dan kantong itu pun hancur.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here