Salah Paham Kita tentang Konflik Israel-Palestina

0
535 views
Ilustrasi: Kejamnya perang dan gamangnya manusia menghadapi medan laga dalam film epik Perang Dunia I "The Great War" (Ist)

AKHIR pekan yang semestinya bahagia mendadak bersalin rupa menjadi malapetaka. Hamas, kelompok militan Palestina, melancarkan serangan masif dari segala matra. Israel membalas dengan segala upaya, termasuk dengan serangan pesawat nirawak.

Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Lebih dari 800 orang tewas dalam serangan Hamas di Israel di dekat Gaza. Sementara itu, setidaknya lebih 400-an orang tewas dan 2.200 orang terluka di Gaza terkena dampak serangan balasan Israel. Kabinet keamanan Israel pun menyatakan perang secara resmi terhadap Hamas.

Inilah deklarasi perang resmi pertama sejak Perang Yom Kippur 1973 (Kompas.com 9/10).

Konflik Israel-Palestina memang menyajikan narasi besar mengenai perseteruan politik dan militer yang paling kompleks dalam sejarah modern. Sering kali, narasi ini dibumbui aroma kekerasan atas nama agama.

Akan tetapi, pada saat bersamaan, konflik ini sejatinya memanggungkan pula narasi pinggiran yang luput dari pemberitaan media massa dan media sosial kita.

Fatima, perempuan Palestina

Di tengah konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina, ada insan-insan budiman yang terjebak di dalamnya. Salah satunya Fatima. Saya berjumpa dengannya beberapa tahun silam di Yerusalem.

Fatima adalah seorang perempuan Palestina yang setiap hari melintasi pos penjagaan di Tepi Barat untuk bekerja di Yerusalem yang dikuasai Israel. Fatima, seorang muslimah yang saleh ini, bekerja di biara rumah residental para imam Ordo Serikat Yesus (Jesuit).

Fatima tak sendirian.

PBB melaporkan, pada 2019 lalu, 130.000 orang Palestina bekerja di Israel. Jumlah sebenarnya jauh lebih besar karena cukup banyak pekerja ilegal. Sekitar 70 persen pekerja konstruksi di permukiman Israel di Tepi Barat adalah orang Palestina.

Demikian pula, sebagian pekerja perkebunan Israel adalah orang Palestina.

Seandainya kita mengenal Fatima, kita tak akan terjebak dalam bola liar celoteh dan komentar panas warga (net) Indonesia tentang konflik Israel-Palestina. Konon kata sebagian warganet kita, ini perang demi membela agama. Benarkah?

Seandainya Fatima bisa bicara pada kita, ia pasti akan tersenyum pahit. Fatima mewakili wajah insan tak bersalah yang terus-menerus dihantui konflik Israel-Palestina. Bagi rakyat jelata seperti Fatima, perseteruan Israel-Palestina tak punya makna lain selain hanya menambah derita.

Sejatinya, Israel dan Palestina bukan realitas hitam-putih yang monoton. Masyarakat Israel dan Palestina penuh warna seperti Indonesia yang beragam. Data cacah jiwa Israel 2019 merekam:

  • 74,2% orang Israel beragama Yahudi.
  • 17,8% orang Israel beragama Islam.
  • 2% Kristen.

Adapun Palestina memang berpenduduk mayoritas Islam, sebanyak 93%. Akan tetapi, ada pula 6% penduduk kristiani dan pemeluk agama tradisional di Palestina. Bethlehem, kota kelahiran Raja Daud dan Yesus, dihuni oleh warga muslim, Yahudi, dan kristiani selama berabad-abad.

Akar konflik Israel-Palestina

Konflik Israel-Palestina sebenarnya bukan murni konflik antaragama. Dalam buku Sejarah Timur Tengah Jilid 2 (2013) karya Isawati, kawasan Palestina pada masa lalu dikenal sebagai Kanaan, Yudea dan Tanah Suci.

Pada tahun 1000-586 Masehi, kawasan Palestina adalah negara Yahudi yang menjadi jajahan Babilonia, Persia, Macedonia, dan beberapa kerajaan Yunani. Baru pada tahun 636 Masehi, wilayah ini mulai berada di bawah kekuasaan Islam.

Awal konflik Palestina dan Israel terjadi pasca Perang Dunia I. Inggris si pemenang Perang Dunia I memberikan wilayah kepada bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour (1917).

Dari peristiwa ini, bangsa Yahudi menganggap, kawasan Palestina adalah tanahair mereka. Di lain pihak, masyarakat Islam Palestina tidak sepakat.

Dalam buku Timur Tengah dalam Pergolakan (1982) karya Kirdi Dipoyudo, masyarakat Islam Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan pendirian negara Yahudi di kawasan Palestina yang bertentangan dengan keinginan mayoritas masyarakat Palestina.

Konflik Palestina-Israel pada awalnya didominasi oleh gerakan nasionalis sekuler. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, para pemimpin Israel dan Tepi Barat-Gaza (Palestina) menggunakan retorika agama untuk membenarkan aspirasi politik mereka.

Akibatnya, beberapa kelompok agama yang pada dasarnya konservatif membingkai konflik Palestina-Israel sebagai perseteruan antara Muslim dan Yahudi. Mereka percaya bahwa agenda nasional mereka “didukung oleh Tuhan”.

Apa yang terjadi ini mirip dengan politik Indonesia zaman sekarang. Ada (saja) politikus dan partai politik yang mengklaim bahwa mereka “didukung Tuhan”. Politisasi agama terjadi. Celakanya, warga yang kurang berpikir kritis termakan politisasi agama ini.

Banyak orang Palestina tidak melihat konflik Palestina-Israel sebagai konflik agama Islam dan Yudaisme. Banyak yang mengatakan,  mereka menghormati Yudaisme, tetapi menentang Zionisme.

Oleh karena itu, ketegangan lebih sering diungkapkan dalam menanggapi kampanye Zionis untuk mendirikan, negara-bangsa Yahudi di wilayah bersejarah Palestina.  Beberapa orang Palestina tidak rela tanah air mereka disebut sebagai Negara Yahudi “Israel”.

Demikian rilis culturalatlas.org.

Masyarakat cinta damai

Ketika saya sebulan di Yerusalem, saya melihat orang Israel dan Palestina berbaur di pasar. Mereka bisa berkomunikasi dengan mudah, karena bahasa Ibrani dan Arab itu serumpun.

Fatimah, pekerja asal Palestina di Yerusalem yang saya kisahkan di awal juga tentu punya hubungan baik dengan orang-orang Israel yang ia kenal.

Di akar rumput, warga Israel dan Palestina sama-sama menginginkan damai. Para dokter dan perawat di rumah-rumah sakit di Israel juga merawat para pasien dari kawasan Palestina. Bahkan ada juga dokter muslim Palestina yang bekerja di rumah sakit Israel.

Rumah Sakit Hadassah adalah salah satu dari sedikit tempat di mana tenaga kesehatan Israel dan Palestina merawat korban konflik berdarah.

Kadang perawat Muslim Palestina merawat tentara Israel yang terluka dalam konflik dengan orang Palestina. Sementara perawat Yahudi juga merawat orang Palestina yang terluka saat menyerang orang Yahudi.

Para politikus dan para ekstremis dari kedua belah pihaklah kiranya yang terlibat dalam konflik politik dan fisik bertensi tinggi. Di Palestina, kelompok Hamas dikenal memilih jalan angkat senjata. Sementara kelompok lain memilih dialog diplomasi.

Di kalangan politikus Israel dan Palestina pun, ada perbedaan pendapat soal pendudukan Israel atas Palestina. Persoalannya terlalu rumit untuk saya bahas di sini. Intinya, jangan menilai semua politikus Israel dan Palestina itu seragam sikapnya. Ada yang frontal. Ada yang diplomatis.

Jangan lupa, konflik Palestina-Israel telah menimbulkan juga korban sipil di kedua belah pihak. Hal ini kadang secara tidak seimbang ditampilkan media massa.

Di Indonesia, sayangnya sejumlah pemuka agama dan media massa partisan menggunakan isu Palestina untuk mendukung agenda tertentu. Paling sering, konflik ini ditampilkan dalam framing atau bingkai konflik agama, padahal faktanya tidak murni demikian.

Kita tidak menyangkal, sejumlah tindak kekerasan tentara Israel terjadi ketika saudara-saudari Muslim Palestina beribadah.

Akan tetapi, peristiwa ini harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni perseteruan Israel dan Palestina, dua bangsa yang sama-sama beragam dan sebenarnya bukan dua negara berdasarkan agama-agama tertentu.

Derita warga sipil Israel dan Palestina

Saya ingat betul, ketika saya tiba di Kota Kana di Galilea, saya mendengar bunyi sirene meraung-raung. Saya panik. Ternyata itu sirene latihan rutin bagi anak-anak sekolah. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi serangan roket yang tiba-tiba datang.

Bisa kita bayangkan, betapa cemasnya menjadi warga sipil Israel dan Palestina.

Mempersalahkan mereka sebagai “orang jahat” tentu salah alamat.

Ingat, tentara Israel dan pejuang Palestina juga manusia biasa yang punya nurani. Kadang mereka dipaksa keadaan dan perintah atasan untuk melakukan tindak kekerasan.

Sebagian tentara Israel  adalah anak-anak muda peserta wajib militer. Saya tidak begitu yakin bahwa semua peserta wajib militer ini sungguh menginginkan terlibat dalam konflik berdarah. Sebagai pemuda-pemudi, tentu mereka punya idealisme tersendiri tentang hidup normal tanpa harus berperang.

Saya sangat yakin, di dalam hati kecil pejuang Palestina dan tentara Israel, ada kerinduan untuk berdamai. “Kapan konflik ini akan berakhir sehingga kami bisa hidup bersaudara seperti wajarnya sesama manusia?”

Bingkai wawasan

Mari kita memahami konflik Israel-Palestina secara utuh.

  • Baca sumber tepercaya.
  • Buka mata dan hati.
  • Jangan cuma percaya kata orang.
  • Jangan cuma baca berita berat sebelah.
  • Baca dari sisi Israel dan juga Palestina.

Doa mohon kedamaian

Dalam sebuah warta kenabian, tertulis, “Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan memutuskan perkara bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.“ (Yes 2:4).

Mari kita berdoa agar kekerasan yang sedang terjadi segera berakhir.

Arthur Neville Chamberlain (1869-1940) menulis, “In war, whichever side may call itself the victor, there are no winners, but all are losers.

Dalam perang, tiada pemenang. Yang ada hanya pecundang.

PS: Artikel ini ditulis oleh Romo Bobby Steven MSF, dosen Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; alumnus Pontificio Istituto Biblico dan Universitas St. Thomas Aquinas Roma.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here