PROGRAM pencerahan publik untuk umat Katolik di Paroki St. Yakobus Citraland Surabaya ini berlangsung pada hari Selasa petang tanggal 26 Maret 2019.
Kali ini, tiga orang pembicara dihadirkan untuk memberi pencerahan publik atas “dunia politik” jelang berlangsungnya Pilpres dan Pileg dalam Pemilu di tanggal 17 April 2019.
Ketiga pembicara itu adalah:
- DR. J. Kristiadi, pengamat politik senior nan beken dari CSIS Jakarta.
- Prof. DR. drg. Regina, Guru Besar FKG UM yang juga sosok pemerhati peranan perempuan Indonesia.
- Trias Kuncahyono, mantan Wapemred Harian Kompas cetak.
Acara dibuka dengan doa dan sambutan. Ikut membukanya adalah Vikjen Keuskupan Surabaya, Romo Yosef Eko Budi Susilo Pr, dengan sambutannya yang menggugah emosi bersemangat.
Keuskupan Surabaya, kata dia, tak henti-hentinya selalu mengusahakan hidup rukun dan toleran berdampingan bersama umat agama lain. Kesadaran dan keinginan itu semakin membuncah ria, terlebih setelah terjadinya insiden pemboman di Gereja Ngagel Surabaya, Mei 2018 lalu.
Selain itu, tambah Romo Eko, Bapak Uskup Mgr. Vincentius Sutikno juga berharap agar segenap Umat Katolik di wilayah Keuskupan Surabaya datang ke pos-pos coblosan untuk menggunakan hak pilih saat Pemilu tanggal 17 April bulan depan.
“Pilihlah calon yang berwawasan Pancasila, teguh memegang komitmen mempertahankan NKRI, dan mengedepankan dialog konstruktif di semua elemen anak bangsa,” kata Romo Eko.
Dongkrak peran perempuan
Sebagai pembicara pertama, Prof. DR. drg. Regina –guru besar FKG UGM—mengemukakan bahwa saat ini peran penting yang dimainkan kaum perempuan Indonesia terhitung masih minim. “Terutama kiprahnya dalam panggung politik dan percaturan politik nasional,” tambah dosen sekaligus pemerhati peran kaum perempuan Indonesia ini.
Menurut catatannya, peran wanita di DPR RI terhitung hanya kurang lebih hanya 18% saja. Padahal, jelasnya kemudian, UU selalu mendorong agar tercapainya kuota perempuan sebesar 30%.
“Kiat-kiat bagaimana agar kaum perempuan ini semakin giat berperan ya harus dimainkan. Terutama adalah berani belajar referensi, bersedia bergaul dengan siapa pun, ikut terlibat dalam ‘urusan bersama’ di masyarakat,” demikian harapnya.
Hanya saja, katanya kemudian, tantangan “internal” itu selalu menghadang untuk bisa maju dan bergerak.
“Kita-kita ini lebih suka main di lingkungan internal kita sendiri; aktif hanya di kalangan Umat Katolik dan Paroki. Kita ini hanya jago di kandang sendiri. Belum berani banyak beraksi untuk keluar dari zona nyaman,” ujarnya blak-blakan.
Semua serba politik
Pembicara kedua, DR. J. Kristiadi melakukan paparannya dengan banyak kisah ilustratif dan itu dibawakan dengan banyak canda penuh tawa. Dengan gayanya yang blak-blakan dan penuh humor, ia mengatakan demikian. “Apa pun yang kita lakukan di Indonesia ini selaku warga negara dan anggota masyarakat akan selalu berkaitan dengan politik. Coba lihat, anda mau kawin saja, sudah ada UU-nya yang harus dipenuhi dan ditaat. Istilahnya, ya lapor ke negara dan pemerintah,” ungkapnya.
“Itu juga terjadi secara biblis. Allah Bapa itu juga ‘berpolitik’. Coba lihat. Untuk menebus dosa manusia, Allah Bapa lalu ‘berpolitik’ dengan mengutus Putera-Nya menjelma menjadi manusia. Dan misi penyelamatan itu lalu diteruskan oleh Roh Kudus. Apakah ini tidak berpolitik?,” ujarnya mengundang gelak tawa.
Pertarungan ideologi
Selebihnya, ia bicara dengan fokus Pemilu.
Pemilu tahun 2019 ini bukan lagi soal “Jokowi vs. Prabowo”, tetapi lebih persoalan fundamental kebangsaan yakni pertarungan ideologi.
“Kita sebagai Umat Katolik tidak bersatu mendukung NKRI. Untung di Indonesia kita mempunyai dua pilar pendukung dan penyelamat NKRI yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua ormas Islam ini menjadi penopang kekuatan NKRI. Makanya, kita harus bersatu dengan niat baik orang-orang yang berpihak pada komitmen menjaga dan melestarikan eksistensi NKRI,” ungkapnya gamblang.
Lihat rekam jejak
Selebihnya, J. Kristiadi bicara tentang imbauan umum bahwa kita harus mencoblos nama-nama caleg dengan jejak rekamnya yang jelas dan baik. “Kriteria tetap sama: otentik, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 45. Pelajari latar belakang para calon ini,” ungkapnya.
Lalu, dia juga berbicara tentang pentingnya mempelajari cara coblos.
- Untuk caleg, coblos partainya dan orangnya.
- Di lembar coblosan caleg untuk 17 April ini tidak ada foto.
- Hanya nama partai dan nama caleg.
Demi kesejahteraan umum
Sementara pembicara ketiga adalah Trias Kuncahyono, alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1974 dan mantan Wapemred Koran Kompas cetak.
Di awal materi, Trias mengajarkan berpolitik “ala” Yesus. Yakni, bagaimana Yesus itu selalu mewartakan kebaikan di dunia.
Berpolitik itu punya tujuan yakni tercapainya kesejahteraan umum atau bahasa kerennya adalah bonnum commune.
“Dengan demikian, jadi politisi Katolik ja jangan melakukan korupsi. Kebanyakan, memang di awal usaha agar bisa menjadi caleg akan banyak menebar janji-janji indah. Tetapi setelah ada di dalam, susah untuk berjatidiri. Menjadi lupa akan norma-norma umum dan ajaran moral berpolitik.
Tanya jawab
Dalam sesi tanya-jawab ini muncul beberapa pokok pembicaraan antara lain sebagai berikut:
- Sedang diusahakan, antara lain oleh J. Kristiadi dan lainnya, bahwa NU dan Muhammadiyah bisa mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian karena jasa besarnya menjaga toleransi.
- Polemik tentang “positioning” Harian Kompas yang selama dua pekan terakhir ini ramai diperbicangkan di panggung medsos. Terutama setelah dirilis hasil survei Litbang Kompas soal elektabilitas.
- Dijawab oleh Trias Kuncahyono kurang lebih demikian. Pro-kontra menyikapi hasil survei tersebut selalu saja terjadi di mana-mana dan Kompas sangat memahami dinamika seperti itu.
- Hal semacam ini bukan hanya kali ini terjadi. Sudah sangat sering dan Kompas juga tahu bahwa framing itu telah sengaja dilakukan dan memang terjadi.
- Isu-isu itu sengaja “digoreng” untuk sebuah maksud politik. Setelah tahu duduk perkaranya usai melakukan konfirmasi langsung ke Kompas, pihak-pihak tertentu lalu memilih “diam”.
- Soal calon-calon Katolik yang akan duduk di kursi legislatif tapi minim jejak rekamnya, tentu ini aka menyulitkan. Karena itu, sebaiknya dipilih calon-calon yang benar-benar punya jejak rekam jelas, sekalipun bahkan dia bukan Katolik. Bila tidak, maka suara kita akan hilang alias muspro (tidak mendatangkan kegunaan).
- Orang Katolik hendaknya jangan hanya suka menjadi “Jago Kandang”. Karena itu, kaderisasi orang-orang Katolik yang “melek politik” itu ya harus dimulai dari tingkat yang paling elementer: yakni di paroki-paroki.
- Selanjutnya di tingkat Kevikepan dan Keuskupan. “Biar kalau membutuhkan kader Katolik untuk kalangan kita, maka calon potensial itu sudah tersedia di antara kita. Dan ini menjadi modal untuk berperan politik di tingkat DPRD I, DPRD II dan DPR RI,” kata Prof. Regina dan J. Kristiadi.
- Apa yang dilakukan partai-partai politik saat ini sebenarnya adalah persiapan jangka panjang untuk Pemilu 2024. Maka, kata kunci kaderisasi menjadi sangat penting.
Editor: Mathias Hariyadi