SEBAGAI penanda waktu, jarum jam sudah selalu bergerak pada arah yang sama: ke kanan. Namun, siapa tahu nasib dan masa depan manusia? Tak seorang pun bisa menebak. Sekalipun seorang guru spiritual di atas sebuah perbukitan yang terpaksa memberi petunjuk kepada Nyonya Besar: 6 anaknyaakan pulang selamat dan satunya lagi akan hilang entah kemana.
Kegamangan segera merasuk cepat dalam lubuk hati Nyonya Besar, ketika dengan berat hati harus segera melepas kepergian ke-7 anaknya ke medan laga dengan satu misi: menyelamatkan Jenderal Yang, suami sekaligus ayah kandung ke-7 pejuang Wangsa Yang. Antara berhasil atau tidak, tidak ada yang pasti sekalipun secarik kertas sudah bertuliskan berita: “6 anak akan pulang selamat, satu tidak (hilang entah kemana)”.
Semua jadi penuh simbol. Termasuk secarik kertas keramat yang akhirnya dibawa serta Kakak Sulung dan ke-6 adiknya ke medan laga guna mencari keberadaan ayah mereka: Jenderal Yang. Atas perintah bunda mereka dan restu Kaisar Song, ke-7 anak itu harus membawa ayah mereka Jenderal Yang pulang dengan selamat.
Namun, nasib dan perjalanan hidup manusia ternyata berbicara lain. Jadi, secarik kertas petuah dengan pesan gamang itu malah memberi bukti sebaliknya: satu pulang selamat membawa mayat Jenderal Yang, sementara ke-6 anak lainnya gugur di medan laga.
Saving General Yang besutan sutradara Ronny Yu memang tidak seheboh Saving Private Ryan garapan Spielberg yang meraih penghargaan Oscar karena unggul dalam setting sejarah yang betul-betul terjadi: The D-Day di Omaha Beach, Normandie, Perancis.
Namun, simbolisme Saving General Yang film produksi Hong Kong juga mencuat kuat. Itu terjadi manakala manusia maju berperang untuk membunuh lawan bukan semata-mata karena misi balas dendam. Namun, membunuh terjadi karena manusia ingin menunjukkan loyalitas dan darma bhakti seorang anak kepada orangtuanya.
Dalam tradisi keluarga China, kedua nilai itu menjadi hakiki karena di situlah kehormatan sebuah wangsa dipertaruhkan sekalipun harus mati di belantara laga. Jenderal Yang yang mulai renta membiarkan dirinya mati ditelan perjalanan waktu karena kehabisan darah.
Anak-anak Jenderal Yang yang jumlahnya tujuh, lima di antaranya harus mati di depan laga sementara satu lainnya membiarkan dirinya mati dipanah biar orang lain bisa memuaskan dendam keluarganya. Begitu pula Jenderal Lelu dari Wangsa Khitan akhirnya juga mati oleh dendam yang tak bisa dia sembuhkan, sekalipun sudah di ujung kematian.
Situasi batas
Jarum jam selalu berjalan ke arah yang sama: ke kanan. Namun, kematian manusia tak seorang pun bisa menyangka kapan datangnya. Grenz-situationen atau situasi-situasi batas dimana manusia tak bisa meluruskan lapangnya jalan kehidupan, melainkan menerima nasib itu “terlempar begitu saja adanya”.
Itulah yang harus dihadapi Nyonya Besar –istri Jenderal Yang—yang hanya bisa menyuruh ke-7 anaknya berperang membawa pulang ayah mereka hidup atau mati. Sebuah ending yang memilukan namun indah, ketika simbolisme kematian tampil dalam dua shoots yang kontradiktif.
Semula, sepasang orangtua ningrat bersama ketujuh anaknya yang perwira. Sedetik kemudian, kursi kehormatan orangtua menjadi lengang oleh ketiadaan Sang Jenderal. Pun pula deretan baris dimana ke-6 anak tadi berdiri juga sudah kosong, kecuali sisi paling pinggir dimana anak ke-7 berdiri tegap.
Saving General Yang memang haus darah dan bau kematian berserakan dimana-mana. Namun, simbolisme akan harmoni keluarga dengan nilai loyalitas dan darma bakti anak kepada orangtua juga tampil sangat menawan. Pun pula perang panah menjadi sangat indah, ketika dua pemanah tangguh yang saling bermusuhan dengan sigap mencari celah untuk membidik musuhnya di savana ilalang yang indah.
Perang panah itu pun berakhir dengan pilu: kematian. Begitu pula duel babak akhir antara keturunan Jenderal Wanga Khitan dan putra bungsu Jenderal Yang juga berakhir dengan kematian . Sungguh, it is really a tragedy, demikian kata seorang teolog, ketika hidup ini akhirnya berakhir dengan berita pedih bernama kematian.