MARI kita sama-sama introspeksi.
Sekian puluh tahun lampau, sepucuk surat datang ke alamat kami di Semarang. Pengirimnya bukan main-main, melainkan Institut Teknologi Bandung.
Isinya menggetarkan, membuat kami sekeluarga bersorak-sorai gembira. Saya diterima menjadi mahasiswa di Institut paling hebat di Indonesia itu.
Hati saya mongkok (bangga). Tiga malam sulit memejamkan mata. Yang terpikir hanya ingin segera menjadi mahasiswa ITB. Rambut gondrong seraya membusungkan dada kala ditanya: “Kuliah di mana?”
Singkat cerita, saya menjadi mahasiswa ITB.
Sekitaran akhir Februari, acara penerimaan mahasiswa baru digelar di depan Kampus Ganesha. Kepala tengadah ke atas, dada membusung ke depan dengan langkah tegap berbaris masuk ke lapangan upacara.
Berseragam putih-hitam, berdasi gelap, kepala plontos, kami, kira-kira 1.100 mahasiswa baru, berjajar rapi menghadap tiang bendera. Di depan sana duduk para guru besar, dosen dan pimpinan mahasiswa.
Gemuruh dada semakin bergejolak, gara-gara spanduk yang dipasang, entah oleh siapa, di atas pintu gerbang. Tulisan tebal mencolok mata: “Selamat Datang Putera-puteri Indonesia Terbaik”.
Fakta atau mitos, kami tak peduli. Hati dan kepala sudah terlanjur membesar. Bahkan waktu pun tak mampu untuk mengecilkan kembali.
Tapi mungkin saja benar. Kami adalah putera-puteri terbaik pada masa itu. Pendaftar ITB adalah lulusan-lulusan terbaik dari SMA-SMA terbaik. Yang diterima tentunya yang terbaik di antara terbaik. “The cream of the crop”.
Waktu berjalan terus. Kami lulus dan mulai bekerja sesuai masing-masing pilihan kariernya.
Tak pernah terpikir lagi, apakah ITB masih “terbaik” atau tidak. Apalagi mempedulikan mutu alumninya saat ini.
Sampai kemudian, barusan publik tersentak dengan artikel yang di pajang di laman Facebook milik Prof.Dr.Eng. Mikrajuddin Abdullah M.Si, seorang ahli fisika nanomaterial Indonesia dan dosen tetap di Institut Teknologi Bandung.
Judulnya cukup menggelitik: Reputasi Akademik Indonesia vs Negara Anggota G20. (12 Juli 2022, 7.20).
Isinya mengundang penasaran dan sulit menjawabnya.
Beliau mengutip penelitian yang dibuat oleh The Times Higher Education tentang “World University Ranking (WUR) 2022”.
The Times Higher Education World University Rankings 2022 include more than 1,600 universities across 99 countries and territories, making them the largest and most diverse university rankings to date.
The table is based on 13 carefully calibrated performance indicators that measure an institution’s performance across four areas: teaching, research, knowledge transfer and international outlook. (World University Rankings 2022- Times Higher Education (THE)
Hasilnya jauh dari menggembirakan. Hanya 14 PT di Indonesia yang masuk urutan (ranking). Tiga di antaranya adalah UI (801-1000), ITB (1001-1200) dan UGM (1200+).
Beberapa bad news ditulis Prof. Mikrajuddin, tapi hanya yang cukup ironis akan saya catat di sini.
Posisi 3 PT Indonesia unggulan itu, hanya setara dengan University of Ghana, Ghana (1001-1200) dan University of Bostwana, Bostwana (1200+).
Tolong, jangan diperpanjang bila saya juga membandingkan dengan Mekerere University, Uganda (601-800) dan Addis Ababa University, Ethiopia (401-500).
Selain kecilnya dana riset dan (mungkin) juga kurangnya penghargaan institusi terhadap para dosennya, Prof. Mikrajuddin juga menuding dua hal sebagai penyebabnya.
Pertama, akademisi Indonesia terlalu santai. Dosen (tiba-tiba) berubah rileks saat SK pengangkatan Guru Besar turun.
Seolah-olah kerja keras selama itu “hanya” untuk menggapai jabatan profesor. Kemudian seakan masa istirahat tiba sesaat setelah berhak mencantumkan “profesor” di depan namanya.
Padahal, nilai suatu PT banyak ditentukan oleh kiprah para profesornya.
Kedua, tak banyak dosen yang bekerja keras untuk berkontribusi terhadap nama baik alma mater-nya.
Dosen yang berprestasi dalam pendidikan dan penelitian hanya itu-itu saja.
Mereka membuat harum nama institusi, sementara yang lain hanya “menikmati” statusnya sebagai bagian darinya.
Golongan terakhir ini disebut sebagai borrowed glory.
Tiga penyebab rendahnya urutan PT di Indonesia di level dunia, sangat tipikal Indonesia. Apalagi kalau bukan alasan “UUD”, cinta akan status, mental feodal dan enggan kerja keras.
Mahasiswa dan lulusan ITB, (mungkin) masih “juara” di ranah lokal, meski harus bertekuk-lutut melawan pesaing global.
Meski tak semua “jago kandang”, tapi seluruh civitas academica harus introspeksi dan segera berbenah diri untuk menembus urutan, paling tidak, 500.
Mumpung masih masuk urutan WUR 2022, izinkan saya tetap bangga menjadi alumnus ITB. Karena ITB membekali pengetahuan hingga saya tahu banyak.
Moga-moga ITB juga melengkapi dengan kebijaksanaan agar saya menjadi rendah hati.
“Knowledge is proud that it knows so much; wisdom is humble that it knows no more.” William Cowper (1731-1800), penyair dan penulis Inggris terkenal)
@pmsusbandono
20 Juli 2022