SERI tulisan ini disajikan untuk menyongsong kanonisasi Beato Titus Brandsma O.Carm pada tanggal 15 Mei 2022. Ia adalah seorang Karmelit Belanda yang pada 26 Juli 1942 dibunuh rezim Nazi Jerman di Kamp Konsentrasi Dachau sebagai martir yang membela kebenaran iman, keadilan dan perdamaian dan hak asasi manusia.
Hidup dan kematiannya amat relevan bagi kita pada zaman ini.
Ada 30 tulisan.
Titus, orang Frisia
Titus lahir tanggal 23 Februari 1881 di Desa Oegeklooster, Frisia, Belanda Utara. Nama kecilnya Anno Sjoerd Brandsma. Ayahnya bernama Titus Hendrikzoon Brandsma dan ibunya Tjitsje Annes Postma.
Oegeklooster -seperti tanah Frisia pada umumnya- merupakan daerah pertanian. Penduduknya sebagian besar bergantung juga pada peternakan dan pariwisata.
Wilayah ini mengenal Yesus Kristus berkat karya misi Santo Bonifasius. Tidak mengherankan bahwa penduduknya memberikan penghormatan khusus kepada rasul Tanah Frisia ini.
Sebagai salah satu provinsi Belanda, Frisia memiliki bahasa sendiri yang diakui negara. Bahasa ini terkait dengan bahasa Inggris kuno.
Orang Frisia memiliki karaktes khas, yakni pekerja keras, tegas dan terus terang. Kepribadian inilah yang ditemukan dalam diri Titus Brandsma. Dalam hal-hal yang benar dan prinsip, Titus Brandsma tidak mau menyerah.
Lima saudara menjadi rohaniwan-rohaniwati
Keluarga Titus Brandsma mengikuti budaya patriarkal. Ayahnya yang memiliki kepribadian kuat menjadi anggota Partai Katolik dan anggota Dewan kota di Bolsward. Titus Henrikzoon Brandsma berpendirian mantap, bersikap tegas dan ketat terhadap anak-anaknya.
Ayah-ibunya mendidik Titus Brandsma dan saudara-saudarinya dalam agama Katolik yang kuat dan saleh. Mereka mewariskan nilai-nilai Katolik kepada anak-anaknya.
Lima dari enam anaknya menjadi biarawan atau biarawati.
- Yang tertua, Boukje menjadi Suster Santa Klara yang miskin (Poor Clares) di Megen.
- Siebrigje juga menjadi suster.
- Satu-satunya yang menikah adalah Gatske.
- Sedang Plone bergabung dengan Suster-suster Fransiskan dari Bennebroek.
- Henrikus, satu-satunya saudara lelakinya, menjadi seorang Fransiskan.
Anno kelak mengambil Titus sebagai nama Karmelitnya. Dia sangat mengagumi ayahnya. Memang dia memiliki banyak kemiripan dengan sang ayah.
Dalam keluarga demikian itulah panggilan religius dari Titus Brandsma muncul dan tumbuh. Dia mewarisi nilai-nilai religius dan anugerah manusiawi yang sangat tinggi. Meski fisiknya lemah dan kurang sehat, kepribadiannya kuat. Dia elegan dan berani.
Titus Brandsma sering menyebut dirinya “terlahir optimis.” Dia seorang yang penuh semangat dan mampu menguasai diri. Hidupnya dipenuhi dengan humor. Ketika mengalami tekanan dan penderitaan dia tidak kehilangan keceriaan dan sifat tenangnya sebagai seorang Frisia.
Semua kekayaan rohani dalam pribadinya itu tidak terlepas dari keluarganya. Apa saja kekayaan itu?
Pertama, tradisi hidup Katolik yang baik. Ayahnya pada hari Minggu siang membacakan Kitab Suci untuk seluruh keluarga. Bersama dengan isteri dan anak-anaknya dia suka menyanyikan lagu-lagu gereja. Ayahnya mengiringi dengan memainkan piano.
Kedua, ayahnya terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat. Sedangkan ibunya lebih fokus di rumah untuk memelihara dan mengembangkan iman Katolik. Yang satu aktif dan yang lain lebih diam; berpikir. Kombinasi pembawaan ayah dan ibunya itu ditemukan dalam diri Titus Brandsma.
Budaya Frisia
Kehidupan sosial masyarakat Katolik Frisia juga ikut membentuk kepribadian Titus Brandsma. Masyarakat petani itu umumnya lebih hidup dalam isolasi atau ketersendirian.
Mereka sangat menjunjung dan menghargai nilai-nilai perdamaian dan keakraban. Mereka hidup dalam keseimbangan antara bekerja dan beristirahat.
Mereka merayakan hari-hari pesta gereja dan menguduskan hari Minggu.
Dalam irama dan dinamika masyarakat seperti itulah Titus Brandsma mengalami formasi awal hidupnya.
Hidup Gereja juga berperan penting dalam keluarga Titus Henrikzoon Brandsma. Tugas dan tanggung jawab pribadi terhadap gereja ditekankan. Mereka mempraktikkan pelbagai devosi secara sungguh-sungguh dan setia.
Lingkungan hidup Titus Brandsma membangun gedung gereja yang lebih tinggi dari rumah-rumah lain supaya tampak dan mudah dilihat. Banyak orang berbondong-bondong ke gereja untuk mendengarkan khotbah, memasang bunga, dan membakar lilin-lilin.
Mereka juga mencintai keheningan. Mereka tidak ingin kehilangan relasi dengan warisan-warisan tradisi Katolik.
Sikap mereka terhadap Gereja Katolik sangat terbuka. Hal itu memang mengundang pro dan kontra. Namun ada dialog di antara mereka yang berbeda pandangan.
Dalam masyarakat sosial dan kehidupan gereja yang seperti itulah Titus Brandsma tumbuh berkembang waktu kecil.
Pada umur 11 tahun dia meninggalkan lingkungannya dan memasuki tahap pendidikan berikutnya, masuk Seminari Menengah Fransiskan di Megen. (Berlanjut)