SEORANG warga desa, profesi sebagai penggarap sawah dan beternak wedhus, alias kambing. Belum lama, Kambingnya beranak dua ekor hidup. Anak kambing, disebut juga cempe. Semula tiga cempe, namun sayang, yang satu mati, karena terlambat penanganan.
Suatu hari sepulang dari cari rumput untuk makanan kambing, dia terpeleset di pematang. Jatuh, dengan bongkokan rumput tetap di kepala.
Tak lama kemudian, perutnya terasa sakit. Ada benjolan agak besar nongol. Diduga, selaput perut melebar, sehingga organ perut atas merosot ke bawah. Tetangga, ada yang menyebut sakit kondor.
Meski sudah sakit-sakitan, dia tetap ngarit cari rumput dan menyelesaikan proses panen padi. Pengobatan dia lakukan dengan ke dukun pijat. Belum sembuh. Anak dan tetangga menyarankan dia ke dokter. Orang yang tahu medis mengatakan, perlu operasi.
Untuk mengurangi daya ngeden, alias power untuk angkat beban berat, disarankan wedus-wedusnya dijual. Namun dalam bicara-bicara, dia keras-hati bin keras kepala. Mungkin karena kurang pengetahuannya. Dia tak mau jual wedus-wedusnya, eman-eman katanya.
Kalimat yang pernah disodorkan oleh anaknya, pilih endi, wedhus apa sehat?.
Si warga desa itu jawab, eman-eman wedhuse!. Problem jadi njendhel. Angel solusine. Peng-udud 76, coba bantu dengan bilang, tak usah terlalu risau dengan biaya. Dia termasuk keluarga harapan, dus ada subsidi dari Pemerintah.
Transportnya, mengko Nyong sing bantu.
Jawabannya singkat, Mengko bubar panen !.
Orang sederhana, pikirannya kadang amat simple. Eman wedhus, karena itu harta yang paling berharga miliknya. Kesehatan jadi terabaikan.
Sugeng, rahayu. Salam Paskah, Cempe Paskah sudah dikorbankan untuk keselamatan Kita.
–peng-oedoed-76 —