TIDAK semua orang menjadi tergila-gila akan kekuasaan. Masih ada anyak orang “sehat” di dunia ini di antara milyaran orang “sakit”.
Mengutip tulisan Priyono Sumbogo di Forum Keadilan (26 Juni 2011) terbersit suatu harapan bahwa kita pernah memiliki teladan publik.
Tulisnya, “Dulu kita memiliki tokoh-tokoh sipil seperti Buya Hamka, Nurcholis Madjid dan Romo Mangunwijaya. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik, tidak memiliki massa yang terorganisasi, juga tidak punya cukup untuk membeli gengsi. Mereka hanya memiliki kata-kata yang secara umum mulia, walaupun mereka tetap tidak luput dari kesalahan. Kata-kata mereka didengar oleh banyak orang, meskipun barangkali tidak dijalankan.”
“Dalam bersyiar, Buya Hamka tidak meledak-ledak, tidak menyakiti siapa pun, juga tidak tunduk pada kekuatan politik apa pun. Nurcholis dipanuti oleh semua penganut agama, karena selalu mengingatkan bahwa “Tuhan bagi siapa saja”. Nurcholis juga disukai semua golongan, karena semua partai, semua suku dan semua kelompok dapat menjadi berkah bagi semua negara.“
Lanjutnya, “Romo Mangun menjauhi hingar bingar. Ia menyepi di tepian Kali Code, Yogyakarta, untuk mendidik anak-anak yang tidak diperhatikan oleh negara. Tetapi para wartawan sering kali datang menemuinya, kemudian menyebarkan pikiran-pikiran Romo Mangun yang jernih dan menyejukkan.”
Teladan besar
Sidharta Gautama (563 – 483 BC) alias Sang Buddha mulanya adalah seroang pangeran yang berlimpah harta dan bisa membuat dirinya mabuk kekuasaan. Setelah ia melihat sendiri bahwa nasib manusia itu ditandai oleh kelahiran, kesengsaraan, penyakit dan mati, ia segera melepaskan dirinya dari jejaring kekuasaan itu dan memilih hidup sebagai petapa miskin.
Yesus adalah Putera Allah. Dia turun ke dunia dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:8). Ajaran Yesus tentang kekuasaan sangat paradoksal dan tidak masuk akal bagi kekuasaan zaman sekarang. Barang siapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu (Mat. 23: 11).
Sebutan minister yang kalau di Indonesia adalah menetri itu sebenarnya berarti pelayan (to minister berarti melayani, meladeni).
Kekuasaan itu nikmat, sehingga dikejar oleh semua orang. Entah berpangkat tinggi, maupun yang rajin berdoa. Karena nikmatnya itu, maka perlu dibatasi.
Ibu Teresa dari Calcutta (1910–1997) pernah berkata, “Berhentilah makan sebelum kenyang.”
Kekuasaan juga demikian. Jika orang terlalu lama menjabatnya, rakyat pun akan mengalami kejenuhan dan kurang penyegaran (pemikiran dan ide baru). Seorang penguasa yang berhenti sebelum masa jabatannya berakhir dan pada puncak jayanya, dirinya akan tetap dicintai dan dikenang oleh rakyatnya.
Dalam permenungan ini, saya jadi ingat ketika saya menjadi pastor di paroki kecil. Tetapi sering kali saya merasa bahwa “berkuasa” sendirian itu nikmat, sebab tidak ada orang yang mengontrol. Apa yang saya katakan dianggap benar oleh umatku. Bahkan, ketika harus pindah dari tempat tugas, rasa-rasanya berat.
Sekali lagi, kekuasaan itu nikmat. Tidak lama kemudian saya dinasihati oleh sahabatku. Katanya waktu itu, “Untuk memegang kekuasaan, obatilah terlebih dahulu luka psikologis itu dengan pencerahan budi dan pendewasaan diri. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan itu bukan lagi soal nikmat, melainkan itu sungguh suatu hikmat.”