BERIKUT ini perbincangan Sesawi.Net dengan Windu Kuntoro alias iKun, warga umat Katolik lokal Paroki Ganjuran di Bantul, Di Yogyakarta.
Dilakukan dalam konteks kegiatan prosesi perarakan Hosti Sakramen Mahakudus yang terjadi hari Minggu -pekan terakhir di bulan Juni- tanggal 26 Juni 2022.
Makna perarakan
Arti kata “perarakan” tidak lain adalah berjalan berbarengan secara beruturan dalam gerak dinami yang rancak, apik, dan tentu saja mempertahanan urutan.
Harus bisa berjalan tertib dan teratur dengan tidak boleh saling menyalip urutan.
Tradisi kegiatan Prosesi Sakramen Maha Kudus sudah sejak dahulu sudah sangat marak di seluruh gereja Katolik.
Ini tentu demi upaya melakukan penghormatan yang lebih mirunggan daripada hanya sekedar duduk tenang melakukan adorasi di hadapan Hosti Sakramen Mahakudus.
Menurut iKun, perarakan Hosti Sakramen Mahakudus yang terjadi di luar gedung gereja sengaja diadakan dengan maksud dan tujuan tertentu.
Misalnya, intensi atau demi ujub khusus yang disampaikan oleh para hadirin akan terjadinya berkat khusus. Minta berkat untuk kota agar terbebas dari wabah penyakit. Juga ujub atau intensi lainnya.
Kisah historis
Prosesi perarakan Hosti Sakramen Mahakudus di Gereja HKTY Paroki Ganjuran, Bantul, DIY ini konon untuk pertama kali diinisiasi oleh keluarga Schmoetzer setelah tahun 1930.
Dilakukan dari kompleks bangunan gereja (yang resmi berdiri tahun 1924) dengan cara proses perarakan menuju lokasi candi (yang resmi berdiri Febuari 1930).
Smoetzer adalah sosok pengusaha pabrik gula waktu itu.
Prosesi itu konon juga dihadiri dan malah diberkati oleh Mgr. Anton Pieter Franz van Velsen SJ (8 Februari 1865 sampai 6 Mei 1936) – saat menjabat Vikaris Apostolik Batavia sejak 21 Januari 1924. Ingat bahwa tahun itu yang namanya “Keuskupan Agung Semarang” belum ada.
Mgr. van Velsen SJ datang ke Ganjuran sekaligus memberkati bangunan candi. Dengan sebuah ujub (intensi keinginan) yang tertulis di kaki candi.
Sebuah dokumen mengatakan bahwa ujub yang tertulis di kaki candi itu berisi harapan dan keinginan agar Tuhan senantiasa memberi berkat-Nya yang berlimpah untuk Jawa.
Menurut almarhum Romo Gregorius Utomo Pr yang lama menjadi pastor Paroki Ganjuran, ungkapan “Jawa” di situ tidak lain mengaju pada Nusantara.
Dalam bahasa politik modern saat ini, ya sama saja dengan “Indonesia”.
Sebelum mengampu sebagai Uskup untuk Vikariat Apostolik Semarang (sebelum akhirnya statusnya “naik” menjadi Keuskupan Agung Semarang), Mgr. Albertus Soegijopranata SJ rupanya pernah juga mengampu pastoral di Gereja HKTY Paroki Ganjuran ini.
Saat itu, Ganjuran masih merupakan stasi dari Paroki Bintaran – lokasinya di Kota Yogyakarta.
Romo Soegijopranata SJ melanjutkan tradisi prosesi perarakan Hosti Sakramen Mahakudus itu, meski saat itu Jawa ada dalam kekapan penjajahan Jepang.
Menjadi semakin semarak lagi, setelah Jepang kalah dan hengkang dari Indonesia, sehingga Romo Sontoboedojo SJ semakin bergiat melaksanakannya lebih grengseng lagi.
“Seingat saya -saat masih kecil- kegiatan semarak itu terjadi sebelum dan sesudah Romo Sontoboedojo SJ,” kenang iKun.
Pergeseran waktu prosesi dari November ke Juni
Masih menurut iKun mengutip buku90 Tahun Paroki Ganjuran, sekali waktu diambil keputusan mengubah bulan di mana prosesi perarakan itu biasanya diadakan. Dilakukan zaman Romo Matthias Joencbloet SJ menjadi pastor Gereja HKTY Ganjuran.
Pindah dari bulan November-Desember ke bulan Juni.
“Karena November-Desember banyak hujan, maka diputuskan dipindah ke bulan-bulan Musim Kemarau dan hasil seperti sekarang ini: pekan terakhir di bulan Juni,” ungkap iKun.
Semula, juga belum tampak kepedulian besar akan “Hari HKTY” dan sekaligus syukuran paroki. Yang ada hanyalah fokus terhadap penghormatan terhadap Hosti Sakramen Mahakudus.
Barulah kemudian, prosesi itu dilakukan di luar gereja menuju lokasi candi.
“Candi kini merupakan tempat adorasi atau astuti,” papar iKun.
“Kebetulan juga, minat khusus akan HKTY juga gamblang terlihat dalam manifes berbunyi “Raja Cinta Kasih Sang Mohoprabu Yesus Kristus” yang tertulis di langit-langit di atas arca candi,” terang iKun.
Ada pertimbangan lain lagi. Kalau dilakukan di dalam gereja dengan jumlah hadirin banyak, maka daya tamping gereja untuk perayaan besar sudah pasti tidak akan muat lagi.
“Dulu sekali, pernah dalam suatu hari, Perayaan Ekaristi digelar di halaman gereja. Lalu digeser kemudian ke lapangan candi,” papar iKun.
Perarakan zaman modern
Berdasarkan studi historis yang dilakukan oleh almarhum Romo G. Utomo Pr dan juga dari para tokoh paroki, maka akhirnya Dewan Paroki Ganjuran mantap memutuskan hal ini.
- Prosesi perarakan Hosti Sakramen Mahakudus berlangsung secara tetap di hari Minggu pekan terakhir di bulan Juni.
- Dilakukan setelah Minggu Triniji Suci, dua pekan setekah Pentakosta.
Prosesi itu juga menjadi semacam ungkapan syukur dari segenap umat Paroki Ganjuran karena telah terberkati oleh Hati Kudus Tuhan Yesus.
Sehingga aspirasinya terungkapkan pada prosesi perarakan Hosti Sakramen Mahakudus menuju candi. (Berlanjut)
PS: Buku 90 Tahun Paroki Ganjuran.