Sejenak Bijak: Air Mata Bahagia “The Happy Prince” (2)

0
1,387 views

OH.. sang pangeran yang gagah dan tampan.. mengapa bersedih?” gumam si burung walet bertanya-tanya sembari menyapa sang pangeran.

“Saat aku masih hidup, aku tak mengenal air mata lantaran hidupku bergelimang kesenangan dan serba aman di balik tembok istana. Begitu aku meninggalkan dunia fana, mereka membuat patungku dan meletakkan aku pada ketinggian hingga aku bisa memandang jauh kotaku,” jawab sang pangeran yang mulai curhat tentang kisah hidupnya.

Permata bahagia

“Jauh di bawah sana, di sebuah gang sempit  ada sebuah gubuk reot yang jendelanya terbuka. Tampak olehku seorang ibu yang wajahnya tergurat derita sedang menyulamkan bunga ke sehelai gaun indah. Anak laki-lakinya terbaring lemah di tempat tidur karena menderita demam tinggi. Anak itu mendamba bisa makan jeruk. Namun, keadaan ekonomi membuat keinginan itu tinggal mimpi.  Untuk minum pun, ibunya hanya bisa menyuguhkan air sungai. Maka menangislah anak itu tanpa henti,” keluh sang pangeran.

 

[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”150″][/media-credit]Kepada si burung walet itu, pangeran itu meminta tolong agar segera memberikan pertolongan kepada ibu dan anak yang malang itu. “ Walet kecil, bantulah aku. Ambillah batu ruby di mata pedangku untuk ibu itu,” pinta sang pangeran.

 

Awalnya, si burung walet mengeluh keberatan. Ia ingat teman-temannya sudah menunggu kedatangannya  di Mesir, kawasan hangat di Selatan dimana ribuan walet yang telah bermigrasi sedang menikmati hangatnya mentari, eloknya bunga teratai serta eksotisnya mumi para raja.

Namun, sang walet tak sampai hati menyaksikan sang pangeran tanpa henti minta tolong.  Ia tahu, sang pangeran tidak bahagia menjalani hari-hari sepinya sendirian di ketinggian tanpa bisa bergerak membantu rakyatnya.

“Baiklah, aku akan bermalam di sini dan membantumu,” jawab sang walet.

Segera diambilnya batu berharga itu dan kemudian dia terbang melewati awan menyerahkan “persembahan” berupa permata ruby itu kepada ibu miskin tersebut.  Usai menjalankan tugasnya, sang walet segera terbang kembali melaporkan keberhasilannya ke sang pangeran.

“Aneh, aku merasa hangat sekarang, walaupun udara dingin,” guman sang walet.

“Itu karena kamu telah berbuat kebaikan,” kata sang pangeran.

Si walet mencoba mencerna kata-kata sang pangeran. Tetapi berpikir selalu membuatnya mengantuk sehingga tertidurlah dia hingga esok hari.

Menunda bahagia

Esok hari mulai bersemi kembali. Kali ini, sang walet memutuskan akan menghabiskan sepanjang hari itu dengan terbang menjelajahi kota. Ia beringsut dari tidurnya dan dengan perasaan gembira mulai terbang sembari membayangkan panorama  Mesir yang sebentar lagi akan menjadi tujuanj akhir “penerbangannya”.

Namun, minat indah itu kali ini tertunda lagi, setelah sang pangeran kembali meminta dia tinggal semalam lagi. “Walet kecil, maukah kamu menolongku lagi? Nun jauh di sana ada seorang pemuda yang berusaha keras menyelesaikan naskah drama. Namun dia kedinginan dan kelaparan karena tidak punya uang sepeser pun,” kata sang pangeran.

Setelah bercerita, sang pangeran meminta si walet agar mematuk batu safir di mata kirinya untuk diberikan kepada pemuda malang tersebut. Setelah didesak berkali-kali, akhirnya sang walet memenuhi pemintaan sang pangeran.

Setelah melewati satu malam lagi bersama sang pangeran, si walet tersenyum gembira menyaksikan panorama kehidupan di pelabuhan dimana ada banyak kapal bersandar. Ia gembira membayangkan sebentar lagi bersatu dengan teman-temannya di Mesir yang pasti sedang bersenang-senang di sana.

Namun, lagi-lagi sang pangeran mendesak si walet agar jangan pergi cepat-cepat. Dia diminta tinggal semalam lagi agar bisa menolong  seorang anak perempuan kecil penjual korek api yang koreknya jatuh di  got hingga sepanjang hari itu tidak bisa mendapat uang sepeser pun. Anak itu menangis karena ayahnya akan memukulnya kalau dia tidak bisa membawa uang ke rumah. Sang pangeran meminta si walet mencungkil mata sebelah kanannya yang dengan berat hati diturutinya setelah didesak terus.

Anak perempuan itu berhenti menangis ketika mendapati sebuah batu indah yang dijatuhkan si walet ke tangannya. Dengan gembira dia berlari pulang ke rumah, sedangkan si walet terbang kembali menemani sang pangeran.

“Aku akan menemanimu terus,” kata si walet kepada sang pangeran.

Walaupun belakangan sang pangeran memintanya terbang segera ke Mesir untuk menghindari musim dingin yang sebentar lagi akan tiba, namun si walet tetap bertahan menemani sang pangeran. Karena sang pangeran kini sudah buta lantaran kedua batu safir di kelopak matanya sudah dia berikan kepada orang miskin. (Bersambung)

Royani Lim, karyawan sebuah lembaga nirlaba di Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here