KETIKA anak-anak datang kepada Yesus, murid-muridNya mencoba mengusir mereka. Tapi, Yesus bersabda “Biarkan anak-anak itu datang kepadaKu. Jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Mk 10:13-16).
Penulis terkenal Inggris keturunan Irlandia, Oscar Wilde, seakan ingin menuangkan sabda ini dalam cerita pendek anak-anak. Hasilnya adalah The Selfish Giant.
Taman indah
Inilah kisah lengkap tentang Sang Raksasa Egois itu.
Setiap sore sepulang sekolah, anak-anak biasa pergi bermain di kebun luas nan indah milik Sang Raksasa. Kebun tersebut diselimuti rerumputan hijau yang di sela-selanya bermekaran bunga-bunga secantik dan secermelang bintang. Di kebun itu juga tumbuh 12 batang pohon pir.
[media-credit name=”Google” align=”alignright” width=”168″][/media-credit]
Pohon-pohon pir ini biasanya berbuah pada musim gugur, setelah sebelumnya memamerkan bunga-bunga indah bersemu merah dadu pada musim semi. Kicauan burung-burung turut menggenapi keindahan kebun tersebut. Ini yang membuat anak-anak jadi terkesan hingga dalam sekejap rela menghentikan sejenak permainan mereka untuk menikmati suara merdu tersebut. “Oh, betapa bahagianya kita,” seru mereka.
Tetapi kegembiraan mereka terhenti, saat Sang Raksasa pulang ke purinya. Dia baru saja pergi mengunjungi temannya –seorang Ogre—bernama Cornish. Sebelumnya, dia memang tinggal bersama Cornish selama tujuh tahun. Dia memutuskan pindah meninggalkan Cornish, ketika ia kehabisan “bahan omongan”. Memang dia kurang mampu berkomunikasi.
Nah, ketika sampai di gerbang, betapa kagetnya dia menemui anak-anak tengah berlarian bermain di kebun indahnya.
“Kalian sedang apa?” teriaknya menggelegar hingga membuat anak-anak berlari ketakutan.
“Kebunku ya milikku,” kecam sang Raksasa. “Harusnya kalian tahu itu. Tak boleh orang lain selain diriku main di situ,” katanya bersungut-sungut.
[media-credit name=”Google” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]Untuk mencegah anak-anak itu memasuki lahan tamannya, maka Sang Raksasa itu membangun pagar tinggi di sekeliling kebunnya. Tak lupa pula dia lalu pasang tanda peringatan di depannya yang berbunyi: “PELANGGAR AKAN DIEKSEKUSI”
Egois
Anak-anak sekarang tidak punya tempat bermain lagi. Mereka mencoba bermain di jalanan, tetapi jalanan sangat berdebu. Di situ banyak batu-batu tajam tersebar di ruas jalan yang membuat anak-anak tidak berminat lagi bermain. Sering mereka hanya berjalan berkeliling mengitari tembok tinggi itu, setiap kali pulang sekolah. Sembari berjalan, mereka tanpa henti membicarakan taman indah di balik tembok angkuh Sang Raksasa itu.
“Betapa senangnya kita dulu ya,” kenang anak-anak tersebut.
Ketika musim semi tiba, kuncup-kuncup bunga dan anak-anak burung mulai bermunculan di seluruh negeri. Tetapi tidak di kebun Sang Raksasa egois tersebut. Di tempatnya tetap berlangsung musim dingin.
Burung-burung tidak mau bernyanyi, karena tidak ada anak-anak lagi. Pohon-pohon juga lupa untuk bertunas. Suatu ketika sekuntum bunga indah menongolkan kepalanya di permukaan di sela-sela rumput. Tapi begitu ia membaca tulisan di papan peringatan, ia merasa kasihan terhadap anak-anak dan lalu menenggelamkan diri masuk dalam tanah untuk tidur kembali.
Satu-satunya pihak yang senang dengan situasi ini hanyalah si Salju dan si Es. “Musim semi telah melupakan kebun ini,” seru mereka kegirangan. “Kita jadi bisa hidup sepanjang tahun.”
Si Salju menutupi rerumputan hijau dengan jubah putih megahnya, sementara si Es mengecat seluruh pohon menjadi perak. Kemudian mereka mengundang si Angin Utara untuk datang menginap dan mereka menyambutnya dengan suka cita.. Dengan mengenakan jubah bulunya, si Angin Utara berteriak-teriak sepanjang hari di sekeliling kebun tersebut, serta menyambar cerobong-cerobong asap agar runtuh ke bawah. “Wah,tempat ini sangat menarik,” katanya. “Kita mesti mengundang juga si Badai Es menginap di sini.”
Maka datangnya si Badai Es memenuhi undangan mereka. Setiap hari selama tiga jam dia mengguncang atap puri sampai memecahkan sebagian besar gentengnya. Tak cukup sampai di situ, dia juga menikmati berlari kencang mengelilingi seluruh kebun. Sesuai dengan julukannya, si Badai Es berpakaian serba abu-abu dan nafasnya terasa sedingin es.
“Aneh, kenapa musim semi belum tiba…” gerutu si Raksasa egois saat dia duduk di depan jendela sembari memandang ke arah kebunnya yang sekarang berubah seputih salju dan sedingin es. “Mudah-mudahan cuaca segera berubah,” begitu dia berharap.
Tak muncul lagi
Tetapi harapannya tinggal harapan, musim semi tidak pernah muncul lagi, demikian juga musim panas. Musim gugur bermurah hati memberikan panenan buah pada setiap kebun, kecuali pada kebun si Raksasa. “Dia terlalu egois,” terang si musim gugur. Maka hanya si musim dingin yang tinggal, bersama si Angin Utara, si Badai Es, si Es dan si Salju yang menari girang di pepohonan.
Suatu pagi ketika Sang Raksasa tengah terbaring di tempat tidurnya, tiba-tiba didengarnya suara musik yang merdu. Suara itu begitu mempesona dirinya sehingga dia mengira para pemusik Raja sedang melewati rumahnya. Ternyata itu hanyalah seekor burung yang sedang bernyanyi di luar jendelanya. Lantaran sudah begitu lama tak pernah mendengar kicauan burung, maka suara tersebut terdengar seperti musik yang terindah di dunia.
Kemudian si Badai Es berhenti menari. Si Angin Utara berhenti meraung. Sang Raksasa mulai bisa mencium wangi udara yang masuk melalui jendelanya yang terbuka. “Ah, musim semi akhirnya tiba,” seru sang Raksasa.
Ia melompat bangun dari tempat tidurnya dan melihat ke luar jendela. Apa yang dia lihat? (bersambung)
Royani Lim, bekerja di lembaga nirlaba di Jakarta.