FAST food kini sudah menjamur dimana-mana. Padahal di Amerika, jenis makanan siap saji ini boleh dibilang masuk kategori junk food alias makanan murahan.
Tapi apa lacur, toh masyarakat Indonesia yang kadang suka bergaya nouveau riche (OKB) ini sering kali kepengin bisa mengidentikkan diri dengan fenomena masyarakat urban. Makan fast food sama saja bisa mengerek derajat sosial alias prestise. Habis, kemana lagi kita bisa makan fast food kalau bukan di restoran-restoran cepat saji. Itu pun hanya ada di shopping mall atau gera-gerai swalayan di kompleks pertokoan mewah.
Namun beberapa tahun belakangan ini, banyak gerai-gerai makanan siap saji juga sudah bertebaran di tepi jalan. Warung-warung tepi jalan ini masih tetap mengerek semboyan OKB yang antara lain mengutip logo atau tagline produsen-produsen makan siap saji. Tak mengapa, sekalipun bahasa Inggrisnya dibuat-buat agak meleset. Namun, yang penting para pengendara motor langsung bisa kena pengaruh, begitu matanya terpaku pada plang papan nama “resto” siap saja di tepian jalan ini.
Kadung doyan
Anak-anak kecil –mulai dari usia dini, masuk TK dan anak-anak SD—sudah pasti sangat mengakrabi beberapa makanan enak siap saji. Termasuk di sini aneka snack ringan dengan adonan rasa yang renyah gurih. Pokoknya, makanan apa pun yang mendengungkan rasa yummy pasti dengan mudah dikonsumsi anak.
Padahal kita tahu, mayoritas makanan ringan siap saji berlabel rasa yummy itu tak jarang malah tidak sehat. Belum lagi kalau bertanya pada anak-anak tentang produk ayam goreng crispy keluaran resto franchise tertentu. Tangan mereka pasti ngacung semua, ketika saya tanya apakah mereka suka makanan jenis yang satu ini.
Orangtua mereka pasti juga tidak sadar, kalau jenis makanan fast food ini kurang atau bahkan tidak sehat. Apa masuk di benak mereka kalau bahan dasar makanan ayam ber-crispy ini berasal dari ayam-ayam muda yang dipaksa “menjadi cepat dewasa” hanya dalam hitungan 40 hari? Sudah pastilah, ada unsur-unsur “rekayasa genetika” melalui suntikan berbagai anasir kimia agar pitik-pitik cilik ini dalam sekejap –kurang lebih 30-40 hari saja—sudah berganti wujud menjadi ayam gembul ginuk-ginuk dan siap disembelih sebagai ayam potong.
Ayo makan sehat
Enak, crispy, yummy itu memang gurih di lidah. Namun belum tentu sehat bagi tubuh. Nah, misi mengkampanyekan makan sehat itulah yang saya lakukan kepada puluhan anak-anak TK Santo Yosep di Pekalongan, Jawa Tengah, beberapa waktu silam.
Hari itu, sejak pukul 08.00 WIB sudah puluhan murid-murid TK Santo Yosep memenuhi semua sudut aula Gereja Paroki Pekalongan. Kali ini, urusannya bukan acara misa atau berdoa bersama. Melainkan belajar mengenal serba-serbi binatang, khususnya budi daya ikan lele.
Untuk membetot atensi anak-anak, sedari pagi sudah saya siapkan sejumlah lele pelbagai ukuran dalam sebuah bak transparan dan toples. Tak disangka, ternyata anak-anak juga gemar menyaksikan pemandangan biasa namun sedikit “langka” ini: sebuah ekspo lele di aula paroki! Pasti mereka jarang melihat hal yang satu ini.
Kepada mereka, saya jelaskan tentang hal-ikwal beternak ikan lele. Cara lele hidup, makan, saling sikut dan berebut makanan bila pelet-pelet ditebarkan. Diam-diam kepada mereka saya kampanyekan semangat Gemaki alias gerakan makan ikan.
Mengapa harus “gemaki”?
Saya ingin memromosikan Gemaki lantaran makan ikan itu menyehatkan. Tidak hanya bergizi, melainkan sedikit banyak juga “bebas” dari berbagai anasir kimia. Nah, kampanye Gemaki ini rupanya bersambut meriah di antara kerumunan 170 anak-anak TK Santo Yosep.
Ketika waktunya tiba makan, lele-lele goreng kami suguhkan sebagai lauk-pauk makan siang. Ternyata dalam sekejap, wuzzz…wuzzz semua makan lahap. Tak terkecuali para gurunya sekalian juga ikut mengaku nikmat makan lele goreng di aula gereja paroki.
Tak heran, karena dari pagi saya sudah siapkan tak kurang 25 kg lele dan kami potong-potong menjadi 185 irisan untuk kemudian digoreng menjadi lauk. “Wah, Romo, ternyata lele-nya romo eunaak tenan,” kata para guru sembari bergurau dengan memainkan kata-kata plesetan.
Usai makan bersama, kami giring anak-anak TK Santo Yosep menuju lokasi kolam ikan lele di samping gedung gereja, persis di pinggir Kali Loji. Anak-anak riuh rendah, berdesak-desakan menyaksikan lele-lele itu saling berebut pelet.
Evaluasi yang dilakukan para guru setelah ekspo makan lele ini menggembirakan: projek studi lapangan dan pengalaman ini perlu ditingkatkan. Kali lain, mereka ingin mengajak para murid mengalami sendiri bagaimana asyiknya menanam bibit-bibit sayur dalam media berupa pot.
Ketika semua sudah selesai, saya pulang ke pastoran melakukan refleksi sederhana. Mengajak anak-anak mengonsumsi sayur-sayuran organik adalah sikap yang benar. Mengajak mereka mengonsumsi makanan yang sehat sudah pasti ini sejalan dengan “perintah” Allah.
Menyayangi Tuhan berarti juga menyayangi tubuh ragawi kita yang selayaknya kita jaga dan kita rawat.
Romo Mardi Usmanto Pr, imam diosesan Keuskupan Purwokerto yang sekarang mengelola Gereja Paroki Santo Petrus Pekalongan, Jawa Tengah.
Photo credit: Romo Mardi Usmanto Pr
Wow! That’s a raelly neat answer!