Sekaligus PIUD, PIA, PIR, PIOM dan PIOD

0
4,714 views

UNGARAN – Kabupaten Semarang, Jumat, 08 Januari 2016. Pukul 07.30 WIB sampai selesai, kulayani Komunitas Kampus Mardi Rahayu, yang dikelola oleh Yayasan Santa Maria Abdi Kristus Ungaran dalam Perayaan Ekaristi Natal 2015 dan Tahun Baru 2016 di Gereja Kristus Raja Ungaran.  Mereka terdiri dari para peserta didik dan guru TK Santa Theresia, SD dan SMP Mardi Rahayu yang membuat bangku dan balkon Gereja Ungaran penuh. Dalam konteks formatio iman berjenjang berkelanjutan, mereka lalu terbentang dari Pendampingan Iman Usia Dini (PIUD), Pendimpingan Iman Anak (PIA) dan Pendampingan Iman Remaja (PIR) dan Pendampingan Iman Orang Muda (PIOM) dari segi usia itulah tempat mereka. Bahwa ada para guru dan Suster maka mereka masuk dalam jenjang Pendampingan Iman Orang Dewasa IPIOD). Satu jenjang yang tidak ada yakni yang lansia Pendampingan Iman Usia Lanjut (PIUL) sebab peserta tidak ada yang berusia lanjut.

Mereka merayakan Natal dan Tahun Baru bersama sebagai Komunitas Kampus. Tema “Mereka Akhirnya Menemukan-Nya dan Hati Mereka Bersukacita!” menjadi bingkai perayaan Natal dan Tahun Baru itu sesuai dengan bacaan yang dipilih oleh Panitia dari Injil Mateus 2:1-12 yakni kisah para sarjana atau sering disebut para majus atau para raja dari Timur yang mencari, menemukan, menyembah dan mempersembahkan hadiah kepada Yesus Kristus, Sang Raja yang lahir di Betlehem. Mereka dibimbing bintang yang mereka lihat dan mereka ikuti dengan setia dengan segala konsekuensi dan risikonya, namun yang penting dan utama mereka bersukacita berjumpa Yesus Kristus.

Berdasarkan tema dan bacaan Injil itu, maka mengawali homili, saya bertanya kepada anak-anak dalam seruan yang saya nyanyikan, “Siapa yang mau hadiah?” Dan anak-anak pun serempak sambil mengangkat tangan mereka menjawab, “Saya…!” Sekali lagi saya berseru dalam nada, “Siapa yang mau hadiah?” Dan kembali anak-anak pun serempak menyahut sambil mengangkat tangan, “Saya…!”

Lalu saya berkata,”Anak-anak, para majus dari Timur tidak meminta hadiah, tetapi justru memberi hadiah kepada Yesus.” Lalu saya berseru lagi dalam nada, “Siapa yang mau hadiah?” Lagi-lagi anak-anak serempak menyahut sambil angkat tangan, “Saya…!” Dan kali ini saya berseru dengan kalimat berbeda dalam nada lagu yang sama, “Siapa yang mau jadi hadiah….?” Ufh…. ternyata anak-anak sadar bahwa saya mengubah kalimat tanyaku itu, sehingga yang menyahut “Saya…!” dan mengangkat tangan jumlahnya berkurang, tidak seperti saat seruan itu berbunyi, “Siapa yang mau hadiah?” Maka kini kuberseru lagi dengan kalimat yang sama, “Siapa yang mau hadiah?” dan anak-anak menyahut lagi serempak, “Saya!”

Sejenak kuambil kotak hitam, di dalamnya terdapat saksofon bayi. Dan anak-anak rupanya sudah tahu, mereka secara spontan bertepuk tangan sebab akan menerima hadiah itu. Lalu kukatakan kepada mereka, “Ayo sekarang kita belajar memberi hadiah kepada Yesus. Kita tidak punyai emas, kemenyan dan mur harum-haruman, maka mari kita hadiahkan kepada Yesus suara kita. Mari kita hadiahkan kepada Yesus cinta kita. Siapa yang mau mencintai Yesus?” Dan anak-anak pun menyahut, “Saya!” sambil mengangkat tangan mereka.

Begitulah, maka, anak-anak pun saya ajak untuk menyanyikan lagu “Ku mau cinta Yesus!” sebagai hadiah dan persembahan kepada Yesus. Dengan penuh semangat mereka menyanyikan lagu “Ku mau cinta Yesus selamanya!” Kuiringi nyanyian mereka dengan alunan saksofon bayi yang membuat mata mereka berbinar-binar penuh sukacita.

Sesudah itu, aku pun bertanya, “Nah, anak-anak, bagaimana kita bisa mencitai Yesus sebagai hadiah kita kepada-Nya?” Seorang anak, namanya Yosef, menjawab, “Dengan mencintai teman!” Maka, kujawab, “Betul!” Itu bukan skenario, tapi spontanitas. Maka, kukatakan kepada mereka, “Ayo sekarang kta mencintai Yesus dengan mencintai teman-teman kita yang ada di kiri kanan kita. Ayo, berikan senyummu satu terhadap yang lain.” Dan anak-anak pun saling tersenyum satu terhadap yang lain. Lalu saya ajak mereka bernyanyi lagi “Dalam Yesus Kita Bersaudara!” Mereka bernyanyi penuh semangat lagu itu. Kuiringi saja dengan saksofon bayiku. Mereka bernyanyi dan bernyanyi dalam beberapa bait, “Dalam Yesus Kita Bersaudara. Dalam Yesus Saling Mengasihi. Dalam Yesus Saling Mengampuni.”

Dan saya pun bilang kepada mereka, “Kalau kita mau mencintai Yesus, kasihilah teman-temanmu. Jangan cubitan-cubitan. Jangan tabok-tabokan. Jangan tendang-tendangan. Eh, tapi, kalau mau cubit-cubitan, ya cubitan-cubitan dalam Yesus ya….” Dan kami pun bernyanyi lagi, “Dalam Yesus cubit-cubitan….” Tanpa disuruh, anak-anak pun saling cubit-cubitan – tapi dalam Yesus. Maka, kali ini, saya minta pada mereka, “Ayo dalam Yesus, elus-elusan (saling mengelus pundak temannya)….” Loh…. ternyata mereka malu-malu melakukannya dan bahkan ada yang tidak mau saling mengelus pundak temannya. Maka saya pun bilang, “Nah, kalian tanpa disuruh bisa saling cubit-cubitan. Tapi disuruh saling mengelus tidak mau… hayo….! Dari pada saling mencubit, menendang, berkelahi, lebih baik saling mengasihi…, saling mengampuni…. Mari sekarang kita pesembahkan hidup dan hati kita kepada Yesus yang akan memberi kita hadiah yang istimewa yakni Ekaristi Suci. Marilah sekarang kita persiapkan hati kita dan kita satukan dengan persembahan kita dalam roti dan anggur yang akan menjadi hadiah bagi kita dalam rupa Ekaristi nanti, bagi anak-anak yang sudah berhak menerimanya. Bagi yang belum berhak, nanti juga akan diberi hadiah berupa berkat di dahi masing-masing.

Dan Perayaan Ekaristi pun kami lanjutkan dengan diiringi musik ansambel anak-anak SD Mardirahayu. Mereka sungguh-sungguh penuh dengan sukacita menyambut Yesus Kristus dan menerima berkat-Nya. Semoga mereka juga kian mampu menjadi berkat satu sama lain dengan tidak saling bertikai, melainkan hidup rukun saling mengasihi satu sama lain, sebagai ungkapan mengasihi Yesus Kristus yang telah lebih dahulu mengasihi kita semua.***

8 Jan 2016 - Berita - Pic 4

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here