KITA mulai dahulu dari makna kata “cardinal” atau “Kardinal” dalam bahasa kita. Ini berasal dari kata bahasa Latin cardo yang artinya engsel. Ya engsel untuk pintu atau jendela.
Paus Silvester I menjadi penggagas pembentukan Kardinal. Dari kumpulan para Kardinal itulah –kemudian disebut Collegium yang berarti Dewan atau Senat—Paus mendapatkan mitranya untuk berkonsultasi atau mendiskusikan hal-hal penting untuk reksa pastoral Gereja Katolik Semesta.
Tiga kategori Kardinal
Pembagian kategorial ini dilakukan berdasarkan sistem pemerintahan khas Tahta Suci atau Vatikan yakni:
- Kardinal Uskup karena ada gereja-gereja Utama di sekitaran Roma.
- Kardinal Imam karena di Roma ada Gereja-gereja Tituler. di sekitaran Roma.
- Kardinal Diakon karena memimpin lembaga-lembaga Kepausan di Vatikan.
Sejarah awal mula
Saat awal dibentuk oleh Paus Silvester I, jumlah Kardinal hanya 30 orang. Paus Sixtus V lalu menambahkannya jadi 70 orang.
Melalui Konstitusi Apostolik bertitel Universi Dominici Gregis, Paus Johannes Paulus II membuat perubahan. Dari yang semula hanya 70 orang, sekarang menjadi 120 Kardinal.
Inilah jumlah maksimal para Kardinal Elektor yang punya hak suara bisa memilih Paus baru dan dipilih jadi Paus dalam peristiwa “pemilihan paus baru” yang disebut Konklaf.
Para Kardinal yang tergabung dalam Collegium itu merupakan sebuah lembaga resmi dalam sistem pemerintahan Tahta Suci.
Fungsi Kardinal
Seorang Kardinal diangkat oleh Paus atas pertimbangannya sendiri. Yang diangkat menjadi Kardinal bisa saja seorang Uskup yang masih “berkuasa”, Uskup Emeritus, dan bahkan seorang imam biasa. Masing-masing “dimonitor”, ditimbang-timbang, dan kemudian menurut kriteria penilaian Tahta Suci lalu dianggap layak untuk membantu Sri Paus dalam reksa pastoral Gereja Katolik Semesta sebagai Kardinal.
Jadi, tugas seorang Kardinal –tidak sama seperti Uskup—tidak harus “memimpin” sebuah wilayah gerejani lokal.
Contohnya terjadi Indonesia. Meski sudah pensiun sebagai Uskup Agung KAJ, Mgr. Julius Darmaatmadja SJ tetaplah seorang Kardinal. Status itu dibawanya sampai mati.
Para Kepala lembaga-lembaga Kepausan di Vatikan juga “bergelar” Kardinal. Mereka tidak memimpin sebuah Keuskupan, melainkan mengepalai kantor atau lembaga milik Tahta Suci.
Bahkan kalau pun tidak lagi memimpin sebuah lembaga gerejani, seperti contoh tadi, Mgr. Julius Darmaatmadja SJ tetap masih seorang Kardinal.
Jadi, fungsi utama seorang Kardinal adalah membantu Sri Paus dengan saran, nasihat, pendapat agar roda pemerintahan gerejani bisa berlangsung sesuai kaidah dan harapan umum.
Sistem membantu Paus
Tugas dan fungsi setiap Kardinal adalah membantu Paus. Itu pun kalau diminta atau diperintahkan harus memimpin sebuah lembaga kepausan.
Caranya bisa terjadi menurut dua sistem berikut ini.
- Secara kolegial, para Kardinal membantu Paus manakala mereka dipanggil ke Vatikan untuk diajak diskusi dan bicara membahas hal-hal penting dalam Gereja Katolik.
- Secara pribadi dan melalui fungsi jabatan lain yang tengah mereka emban –misalnya Kepala Lembaga Kepausan—para Kardinal membantu Paus dalam reksa pastoral “kantor” Kepausan sehari-hari.
Kesimpulannya seperti ini. Ada Kardinal yang harus memimpin Keuskupan sehingga mereka ini adalah Uskup yang “bergelar” Kardinal.
Sementara, ada juga para Kardinal yang tidak memimpin Keuskupan, namun mengepalai lembaga-lembaga Kepausan dan punya “Kantor” di Vatikan yang biasa disebut Dikastori.
Collegium Kardinal
Sekarang kita bicara tentang para Kardinal yang secara bersama disebut Collegium. Para Kardinal ini punya wilayah kewenangan yakni memilih Paus baru dan juga berhak dipilih menjadi Paus, manakala paus “lama” meninggal dunia dan perlu segera dicarikan pengganti atau penerusnya.
Hak prerogatif Collegium Kardinal untuk memilih dan dipilih menjadi Paus ini sudah eksis sejak abad ke-9. Yang baru hanyalah soal batasan umur.
Paus Paulus VI melalui Ingravescetem Aetatem yang dirilis 21 November 1970 membuat aturan baru mengenai batasan umur seorang Kardinal boleh mengikuti Konklaf. Artinya, sekarang ada batasan umur untuk boleh memilih dan dipilih menjadi Paus.
Mereka yang sudah berumur 80 tahun ke atas tidak boleh ikut Konklaf. Hak prerogatifnya dengan demikian gugur karena batasan umur ini.
Dalam Konkflaf tahun 2013 lalu, Kardinal Julius Darmaatmadja SJ tidak ikut serta. Bukan pertama-tama karena batasan umur. Waktu itu kepada Sesawi.Net, Kardinal menyatakan tidak bisa ikut Konklaf karena alasan kesehatan.
Soal batasan umur ini kembali dipertegas dengan Konstitusi Apostolik bertitel Romano Pontifici Eligendo yang terbit 1 Oktober 1975. Lalu, kembali semakin dikuatkan dengan Konstitusi Apostolik bertitel Universi Dominici Gregis yang diterbitkan Paus Johannes Paulus II tanggal 2 Februari 1996.
Kardinal Dekan dan Subdekan
Dalam Collegium Kardinal itu ada satu orang Kardinal yang lazimnya disebut Kardinal Dekan dan satu orang lainnya disebut Kardinal Subdekan.
Tugas Kardinal Dekan adalah memimpin Dewan Kardinal dan kalau yang bersangkutan berhalangan, maka fungsi itu ada di tangan wakilnya: Kardinal Subdekan.
Prinsip kepemimpinan mereka itu mengikuti langgam primus inter pares – menjadi “ketua” lantaran dianggap yang paling senior (umur, kecakapan, pengalaman, pengaruh) dan lainnya.
Kardinal Dekan biasanya dipilih dari mereka yang paling lama menerima Tahbisan Episkopal. Namun, hal ini kini mulai ditinggalkan sejak Paus Paulus VI.
Dalam peristiwa Konklaf
Andaikan terjadi demikian, sebagai misalnya, Kardinal X terpilih menjadi Paus baru dalam sebuah Konklaf. Padahal, Kardinal X ini tidak pernah “menjadi Uskup” dan itu berarti juga belum pernah menerima Tahbisan Episkopal.
X ini bisa menjadi Kardinal, hanya karena dia memimpin kantor kepausan (Dikasteri). Maka kalau Kardinal X ini –misalnya lagi—sampai terpilih menjadi Paus dalam Konklaf, maka yang harus dilakukan kepadanya adalah menahbiskan Kardinal X ini terlebih dahulu dengan Tahbisan Episkopal.
Ingat bahwa Paus itu juga Uskup Keuskupan Roma.
Yang berhak memberi Tahbisan Uskup kepada Kardinal X ini adalah Kardinal Dekan. Kalau ia berhalangan, maka yang boleh menahbiskan adalah Kardinal Subdekan.
Kalau keduanya –katakanlah—sama-sama tidak bisa karena halangan sakit atau apa, maka hak memberikan Tahbisan Uskup pada Kardinal X ini jatuh ke pundak Kardinal yang terlama menjabat Uskup.
Ingat bahwa dalam Gereja Katolik ada tiga macam tahbisan, yakni:
- Tahbisan Diakonat untuk menahbiskan seorang frater calon imam menjadi Diakon.
- Tahbisan Imamat atau Sakramen Imamat untuk menahbiskan Diakon calon imam menjadi pastor atau imam.
- Tahbisan Episkopal atau Tahbisan Uskup untuk menahbiskan seorang imam menjadi Uskup.
Ketiga jenis tahbisan ini dilaksanakan secara berjenjang. Tidak mungkin ada Tahbisan Imamat bagi pastor, sebelum dia terlebih dahulu menerima Tahbisan Diakonat. Juga tidak akan ada Tahbisan Uskup bagi siapa pun juga, sebelum yang bersangkutan terlebih dahulu menerima Sakramen Imamat dalam Misa Tahbisan Imam.
Kardinal Protodiakon
Inilah Kardinal paling senior –dari segi umur dan hal-hal lainnya—yang di akhir Konklaf boleh mengucapkan kalimat baku yang berbunyi “Habemus Papam” yang artinya “Kami punya Paus”.
Kardinal Protodiakon ini pula yang akan mengenakan pallium –semacam selendang berupa mantel segitiga yang akan dikalungkan pada leher Paus baru.
Kardinal Protodiakon ini pula yang kalau Paus lagi berhalangan bisa menyerahkan pallium kepada para Uskup Metropolit yang biasa kita sebut di sini Uskup Agung.
Dulu sekali, pallium hanya boleh dipakai oleh Paus. Namun, kini pallium juga diberikan kepada para Uskup Agung.
Pallium atau dalam bentuk jamaknya ‘palla’ wujud fisiknya berupa semacam mantel kecil berbahan dasar wool dari domba.
Awalnya, pallium itu khusus hanya ‘milik’ Paus semata. Namun, dalam perkembangan zaman berikutnya, pallium lalu juga diberikan oleh Paus kepada para Uskup Metropolit sebagai lambang yurisdiksi yang diemban para uskup atas dasar kewenangan dan perinah dari Tahta Suci.
Sejak tahun 2015, Paus memutuskan pallium itu tidak disematkan langsung oleh Paus kepada Uskup Metropolit yang akan menerimanya.
Melainkan pallium itu akan ‘dibuka’ di wilayah keuskupan dan kemudian disematkan oleh Nuntio Dubes Vatikan di setiap negara kepada uskup yang berhak menerimanya.
Dengan demikian, para uskup yang berhak menerima pallium itu hanya menerima kotak berisi pallium sebagaimana yang terjadi pada Uskup Agung KAS Mgr. Robertus Rubiyatmoko saat menerima pallium di Basilika St. Petrus Vatikan, Juli 2017.
Prosesi pemberian pallium kepada Uskup Metropolit itu selalu terjadi di Vatikan.
Konsistori atau Rapat Para Kardinal
Kumpulan para Kardinal itu disebut Collegium. Kalau collegium itu mengadakan rapat di Vatikan atas undangan atau panggilan Sri Paus, maka rapat umum itu disebut Konsistori.
Ada dua macam Konsistori
- Konsistori Biasa: Rapat para Kardinal yang “berkantor” di Roma untuk sebuah forum konsultasi atas hal-hal penting atau hanya sekedar menghadiri peristiwa penting di Vatikan misalnya ritual liturgi proses beatifikasi.
- Konsistori Luar Biasa: Semua Kardinal dari seluruh dunia dipanggil Paus untuk rapat bersama membahas masalah-masalah penting. Ingat bahwa yang dipanggil datang ke Vatikan adalah para Kardinal, bukan para Uskup.
Konsistori itu beda dengan Sinode yakni pertemuan internasional di mana Vatikan menjadi “tuan rumahnya” untuk membahas hal-hal aktual yang dirasa oleh Gereja perlu dibahas bersama-sama dengan para uskup, para ahli di bidangnya, pengamat, dan para undangan lainnya.
Bukan atasan Uskup
Meskipun punya status dan kedudukan istimewa di Vatikan, para Kardinal itu bukan “atasan” para Uskup.
Pemimpin Gereja Lokal yang bernama Keuskupan adalah Uskup, bukan Kardinal. Kecuali Kardinal ini juga seorang Uskup seperti yang pernah terjadi pada Kardinal Justinus Darmojuwono (Uskup Agung KAS, 1967), Kardinal Julius Darmaatmadja SJ (Uskup Agung KAS dan KAJ, 1994), dan akan juga terjadi pada Kardinal Ignatius Suharyo (Uskup Agung KAJ, 2019).
Warna merah
Berbeda dengan aneka atribut yang biasa dikenakan para Uskup yang berwarna ungu, maka atribut Kardinal punya warna merah.
Warna merah dalam rumus tatacara liturgi Katolik adalah lambang kemartiran. Itu berarti, sebagai pembantu Paus, para Kardinal dituntut setia dan taat kepada Paus sampai mati; termasuk risiko-risikonya menjadi seorang Kardinal.
Dalam artian luas, Kardinal siap “menjadi martir” karena sikapnya yang taat dan setia kepada Paus apa pun risikonya.
Suka-suka Paus
Tidak setiap negara “punya” Kardinal. Contohnya, Singapura dan Malaysia tidak punya Kardinal, tapi Filipina punya Kardinal Luis Antonio Tagle yang kini Uskup Agung Manila.
Kardinal Uskup tidak harus berasal dari Ibukota Negara.
Kardinal juga tidak harus datang dari negara dengan penduduk mayoritas Umat Katolik. Contohnya, Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar. Di negeri ini, justru umat Buddhis menjadi mayoritas, sedangkan jumlah Umat Katolik sangatlah sedikit.
Singkat kata, suka-suka Paus mau mengangkat Kardinal. Dan kata Mgr. Ignatius Suharyo dalam konferensi pers di hari Kamis tanggal 5 September 2019, Paus Fransiskus adalah sosok yang sering melanggar “pakem” karena sering memutuskan hal-hal yang tak terduga.
Termasuk, kata Mgr. Ignatius Suharyo, “Saya pun tidak pernah diberitahu atau dimintai persetujuan akan diangkat menjad iKardinal. Tahu-tahu banyak orang telepon dan kirim WA bahwa saya telah diangkat Paus menjadi Kardinal dan akan dilantik pada Konsistori tanggal 5 Oktober 2019 mendatang.”
“Bahkan saya baru tahu diangkat jadi Kardinal itu dari media massa,” pungkas Mgr. Ignatius Suharyo dalam jumpa media kemarin di Gedung Pastoral KAJ. (Berlanjut).
PS: Disarikan dari beberapa sumber.