Seks Diperbincangkan di Seminari Menengah St. Yosep Tarakan, Kalimantan Utara (2)

2
1,828 views
Ilustrasi: Terbuka dengan jujur menjadi semangat utama dalam program pendidikan. (Mathias Hariyadi)

SEJAK beberapa tahun terakhir ini, Gereja Katolik Universal seperti tengah tersandung “badai” skandal seks yang melibatkan kaum berjubah alias pastor dengan korbannya adalah kaum perempuan, anak-anak, dan lainnya. Banyak kisah “horor” menyangkut kasus-kasus pelecehan seksual oleh para pastor di banyak negara itu mulai dikeluhkan oleh para korban dan kemudian diungkap ke ranah publik melalui media massa.

Media massa kaliber internasional juga senang merilis berita-berita ini di laman utama mereka. Hal  ini sebelumnya tak pernah kita pikirkan bisa terjadi. Namun, nyatanya kini kasus-kasus pelecehan seksual oleh kaum berjubah kini perlahan-perlahan mulai terkuak muncul ke permukaan.

Rektor Seminari Menengah St Yosep Tarakan Romo Piter Susianto MSF membuka sesi pendidikan bina seksualitas besutan PGU (Paguyuban Gembala Utama) dan Komisi Seminari KWI.

Sexual Abuse Summit di Vatikan

Gereja Katolik –utamanya Hierarki—dituntut untuk menghentikan “puasa” diam-nya selama berabad-abad dan diimbau mulai terbuka menangani kasus-kasus seksual yang melibatkan kaum berjubah tersebut. Perlahan tapi pasti, dengan munculnya panggung medsos, maka kasus-kasus lama yang bisa jadi berhasil “disimpan” rapi di laci, maka sekali waktu akan terbuka, terkuak oleh canggihnya teknologi komunikasi.

Yang menarik, di akhir Februari 2019 lalu, Tahta Suci dengan serius telah berani  merespon isu global dengan antara lain menghadirkan para petinggi Hierarki Gereja Lokal di masing-masing negara untuk mengikuti pertemuan di Vatikan.

Sr Kristina Fransiska CP dari Malang menjadi nara sumber utama dalam program pendidikan bina seksualitas di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Keuskupan Tanjung Selor, Kaltara, 2-3 Februari 2019.

Mereka diajak bediskusi dengan pokok bahasan seputar pelecehan seksual dan manajemen risiko penanggulangannya.

Judul  pertemuan internasional yang didapuk Paus Fransiskus itu pun mengadopsi tema “Sexual Abuse Summit” dengan salah satu agenda pentingnya adalah mendengar jeritan para korban kejahatan perilaku seksual kaum berjubah.

Dengan pertemuan internasional di Vatikan itu, kiranya kita melihat langkah berani Vatikan untuk di kemudian hari berani “bersih-bersih” halaman dan isi rumah mereka dari kisah kelam yang selama ini telah ditutup rapat-rapat.

Malam tak menjadi halangan untuk diskusi bersama mengenai tema seksualitas.

Gereja jangan lagi “tutup mulut”

Umumnya, laporan media massa internasional mulai menggugat kenapa sedemikian lama Hierarki Gereja memilih bersikap “diam”, seolah-olah selama ini tidak pernah terjadi apa-apa.

Para korban dengan pressure group dari media massa dengan lantang mulai mengritik pejabat Hierarki Gereja yang lebih suka memilih tutup mulut. Mereka menuduh Hierarki lebih senang dan dengan sengaja ingin membiarkan kisah-kisam kelam di balik biara ini dengan sendirinya akan “terkubur” dan mulai dilupakan orang seiring dengan perjalanan waktu.

Gereja Katolik Indonesia tentunya juga tidak akan imun terhadap “badai” seperti ini. Sekarang belum, tapi sekali waktu isu-isu miring seputar pelecehan seksual oleh kaum berjubah atau hubungan “tidak sehat” antara kaum berjubah dengan awam bisa jadi akan muncul ke permukaan.

Sr. Kristina Fransika CP dari Malang.

Pendidikan bina seksualitas

Dalam konteks isu global tersebut, maka tak heran tema pendidikan bina seksualitas juga menjadi issue menarik untuk diperbicangkan secara sehat dan terukur dengan sasaran audiens tertentu. Ketika tema sensitif ini coba ditawarkan ke jaringan para rektor seminari menengah se-Indonesia oleh Komisi Seminari KWI, sambutan mereka di luar ekspektasi.

Menurut Sekretaris Komisi Seminari KWI Romo Joseph Kristanto Suratman Pr, respon para rektor Seminari Senengah di seluruh Indonesia ini ternyata sangat positif.  Mereka menyikapi tawaran pendidikan bina seksualitas itu dengan sangat antusias agar sesegera mungkin bisa mendapatkan sesi presentasinya bagi para seminaris yang sesuai kodrat alamiahnya tengah melakoni masa pubertas.

Ketika ide besar tentang pendidikan bina seksualitas itu ditawarkan oleh Komisi Seminari KWI kepada Paguyuban Gembala Utama (PGU), maka respon positif pun juga bergayung sambut. Melalui jaringan kerjasama antara alumni Seminari Mertoyudan, Seminari Garum, Seminari Bogor, dan lainnya, maka program Pendidikan Bina Seksualitas dengan target audiens para seminaris di seminari-seminari menengah akhirnya bisa diretas.

Rektor Seminari Menengah St Yosep Tarakan Romo Silvester “Piter” Susianto Budi Nugroho MSF di mimbar misa.

Pilot project mengadakan pendidikan bina seksualitas untuk para seminari besutan PGU dan Komisi Seminari KWI ini terjadi di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Keuskupan Tanjung Selor, Provinsi Kalimantan Utara, 2-3 Februari 2019 lalu.

Adalah Rektor Seminari Romo Silvester “Piter” Susianto Budi Nugroho MSF yang punya “nyali” untuk berprakarsa mau mengadakan sesi ini bagi 31 orang seminaris yang menjadi tanggungjawabnya di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Kaltara.

Misa harian di Kapel Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Kaltara.

Merawat dan menghormati tubuh

Berhadapan dengan 31 orang seminaris di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara, tema pendidikan bina seksualitas dibahas dengan blak-blakan oleh Sr. Kristina Fransiska CP dari Malang, Jatim.

Meski menjadi satu-satunya perempuan di Seminari saat itu, suster biarawati dari Kongregasi Suster Passionis St. Paulus dari Salib (CP) sungguh tidak canggung berbicara tentang tema sensitif yang menyangkut “hajat” banyak orang.

Ini lantaran Sr. Kristina Fransiska CP sudah sangat mengakrabi “panggung publik” saat tahun-tahun sebelumnya selalu berbicara di atas panggung kuliah sebagai dosen hukum di Unika Widya Karya Malang. Di perguruan tinggi Katolik Keuskupan Malang ini, ia juga mengemban tugas sebagai Purek II.

Membicarakan tema seksualitas secara serius dengan contoh-contoh kisah nyata sehingga menjadi bahan diskusi menarik.
Sebagai perempuan, Sr. Kristina Fransiska CP bicara tentang seksualitas di hadapan audiens para seminaris calon frater di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Kaltara.

Sudah banyak tahun, suster biarawati berdarah campuran Dayak-Tionghoa asal Kabupaten Bengkayang di Kalbar ini juga sudah sering membawakan tema sama dalam bentuk rekoleksi atau bina diri dengan audiens para frater dan lainnya.

Di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan ini, Sr. Kristina Fransiska CP bicara tentang pentingnya para seminaris mengenali tubuh mereka sendiri agar tahu bagaimana merawatnya dan menjaganya. Ia juga bicara tentang pentingnya menaruh sikap hormat terhadap tubuh kaum perempuan dengan terlebih dahulu cermat menjaga dan merawat tubuhnya sendiri secara baik dan bertanggungjawab.

“Kalau kalian tidak bisa merawat dan menghormati tubuhmu sendiri, bagaimana bisa menghormati tubuh milik orang lain, utamanya kaum perempuan dan mereka itu adalah ibu dan kakak atau adik kalian sendiri?,” ajak Suster Kristina dalam paparannya.

Suasana sesi formatio.
Membicarakan seksualitas bersama para calon frater.

Bolehkah pacaran?

Salah satu topik yang hangat dibahas dalam sesi bina pendidikan seksualitas selama dua hari adalah menjawab pertanyaan: “Apakah seminaris boleh pacaran?”

Suster Kristina Fransiska tidak menjawab langsung, melainkan dia mengajak para seminaris itu untuk menerawang kisah hidup mereka sendiri-sendiri; bertanya sejauh mana motivasi mereka ingin menjadi imam itu benar-benar murni?

Ref: Laity and religious bring sex education to Indonesian seminaries.

Dengan tuntunannya, beberapa seminari dengan senang hati berani “maju ke depan” men-sharing-kan pengalaman mereka bahwa meski sudah di seminari, mereka masih “berada di jalan lain” lantaran masih membina relasi eksklusif dengan orang lain berjenis kelamin perempuan.

Terhadap ini, Suster mengajak mereka segera mau menata hati bersama Pastor Spiritual untuk mengatur rasa-perasaannya terhadap orang lain di “jalan yang benar”.

Penulis mendapat sesi dengan topik mengenai “manajemen risleting” dan mengatur libido agar menjadi energi positif.

Panasnya hawa Tarakan selama dua hari itu ternyata tidak membuat kedua pemrasaran itu merasa capai. Tidak saja karena topik pendidikan bina seksualitas ini masuk kategori “sensitif” namun “perlu”, melainkan juga karena terjadi interaksi yang intensif dan positif antara audiens dengan narasumber.

Ceramah dua hari di emperan halaman tidak menjadikan semangat kendor meski hawa panas khas Tarakan mendera.
31 orang seminaris di Seminari Menengah St. Yosep di Tarakan, Keuskupan Tanjung Selor, Provinsi Kalimantan Utara.

Ini di luar ekspektasi, karena para seminaris itu dengan blak-blakan berani “buka-bukaan” terhadap narasumber mengenai berbagai gejolak emosional afeksi-erotik terhadap lawan jenis, rasa-perasa yang tidak “sehat” terhadap orang lain, dan seluk-beluk mengatur “risleting”-nya agar tidak “jebol”.

Di akhir cerita, presentasi pendidikan bina seksualitas di Seminari St. Yosep di Tarakan ini berakhir ciamik: para seminaris menanggapi program  formatio besutan PGU dan Komisi Seminari KWI ini sebagai hal positif dan bermanfaat bagi hidup mereka sebagai calon frater. (Bersambung)

SMAK Don Bosco Tarakan, Kaltara: 1,5 Jam Pendidikan Bina Karakter bersama Sr. Kristina Fransika CP (1)

2 COMMENTS

  1. Jika ada seorang frater yg sudah melakukan hub intim dg org yg sudsh menikah, lalu frater itu meninggalkan perempuan itu dg mengatakan bahwa dia mukai ada peeasaan dg perempuan lain, ya, seperti yang dikatakan artikel diatas, dia bilang berteman dg perempuan itu tetapi sepertinya menjalin relasi yg eksklusif dg lawan jenis dan berada di jalan lain. Pertanyaannya sebaiknya Frater tsb dilaporkan ke pimpinan seminari atau dimaafkan karena dia tetap ingin lanjut di seminari? *Bukan dr seminari Tarakan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here