SUATU hari di tahun 1968. Saat saya duduk di bangku SMP kelas 1 di Semarang. Bapak pulang membawa satu ekslempar koran. Namanya Kompas.
Saya tak begitu antusias menyambutnya. Koran bukan konsumsi remaja. Namun bapak meminta setengah memaksa, agar kami membacanya.
“Iku dhawuhe Rama Kanjeng (Bapa Uskup Semarang). Koran anyar seka Jakarta, ben jendela mu tambah amba”.
Kami manut Bapa Uskup.
Sejak hari itu, koran terbitan Jakarta itu menjadi bacaan baru di rumah kami. Menjadi teman koran daerah yang sudah lama bersama kami. Sejak saat itu pula, saya nyaris tak pernah putus membaca Kompas, sampai kira-kira 2 bulan lalu, saat cara pengantarannya tak menjamin aman dari virus corona.
Saat saya pergi ke luar kota, hal pertama yang saya cari adalah Kompas. Baru setelah usai melumat sebagian artikelnya, hidup terasa lebih lengkap. Kegiatan lain baru dijalankan.
Pertengahan tahun 1970-an, ketika menyandang predikat mahasiswa di Bandung, tak juga menghentikan membaca Kompas. Bedanya, kalau di Semarang bapak yang membayar uang langganan, di Bandung kami patungan bertujuh. Penghuni rumah kontrakan membaca beramai-ramai. Kadang bergantian, sering keroyokan.
Sekira lima belas tahun kemudian, ketika bertugas di daerah terpencil, di daerah operasi perminyakan di pedalaman Riau dan Sumatera Selatan, Kompas “diselundupkan” petugas ground handling di bandara Halim.
Celakanya, pesawat charter hanya datang 2-3 kali per minggu. Terpaksa membaca 2-3 terbitan dilahap sekaligus. Kompas telah berhasil menebarkan “kecanduan” membaca koran dalam diri saya.
Lima puluh dua tahun bukan waktu yang singkat untuk menjadi pembaca satu koran tertentu. Mindset dan perilaku sering “dikocok-kocok” Kompas.
Kompas menjadi “my opinion setter” dan penunjuk arah ketika kebingungan harus menyikapi suatu masalah.
Keajegan membaca menuntun saya pada suatu pemahaman bahwa Kompas bukan suatu koran yang biasa-biasa saja. Seiring perjalanan waktu, membuktikan bahwa Kompas semakin nyaman dibaca.
Artikelnya semakin bermutu. Gayanya mirip petinju Joe Frazier. Sering merendah, tapi tak lupa curi-curi peluang untuk memukul “lawan”. Ulasannya tajam dan terpercaya.
Beberapa rubrik menjadi kegemaran saya, olahraga, politik, tajuk rencana, karikatur dan Mang Usil. Saya mengenal beberapa pengasuhnya. Kenal nama dan karya, tak kenal orangnya.
Saya terkesan dengan reportase spektakuler dari wartawan olahraga Valens Doy ketika Iie Sumirat membunuh dua raksasa bulutangkis Cina, Tang Hsien Hu (15-9, 12-15, 15-6) dan Hou Chia Chang (12-15, 15-8, 18-13) di Bangkok pada tahun 1976. Akhirnya, Iie menjadi juara di arena “World Badminton Championship” melalui perjuangan yang luar biasa dahsyat.
Valens menggambarkannya dengan dramatis serasa menonton langsung di dalam stadion.
Satu lagi wartawan olahraga yang membangun kesan tersendiri. Namanya Ignatius Sunito, yang sering menulis tentang karate. Artikelnya memukau, karena selain reportase pertandingan yang menarik, juga dilengkapi latar belakang yang komplet.
Saya membayangkan sang penulis adalah mantan atlet karate. Badannya tinggi, tegap dan berotot. Tak mungkin penulis karate berbobot bukan seorang atlet.
Tiga tahun lampau, saat sempat berkenalan dengan Sunito, saya agak “kecewa”. Posturnya bertolak belakang dengan apa yang saya bayangkan.
Sunito yang sesungguhnya cenderung kurus dan kecil. Tak nampak bayangan yang pernah saya miliki. Satu yang pasti, dia rendah hati. Ini sesuai dengan spirit Kompas, profesional, berpihak kepada yang lemah dan, rendah hati.
Itu adalah salah satu ciri Kompas yang unik. Penulis hebat tentang suatu bidang, belum tentu “berasal” dari ranah itu.
Kecuali Ninok Leksono, masih banyak nama jurnalis Kompas yang saya kenal tanpa tahu sosoknya. Saya membaca karya-karyanya yang bernas, meski orangnya tak pernah jumpa. Rudy Badil, Marcel Beding, Raymond Toruan, G.M. Sudarta, Threes Nio, Parakitri, St. Sularto, dan masih banyak lagi.
Mereka adalah jurnalis andal dan fenomenal.
Mereka adalah wartawan-wartawan senior yang mumpuni. Mungkin sekarang sudah purna-karya, atau beberapa sudah mendahului kita. Terima kasih banyak untuk jasa besar anda yang telah membuka lebar cakrawala saya dan segenap pembaca.
Mereka memiliki “profession trait” sebagai wartawan Kompas.
Strong personality, karena berasal dari suatu komunitas dengan budaya organisasi yang solid.
Timbul pertanyaan, apa atau siapa kunci kehebatan Kompas?.
Jawabnya mudah. Dia adalah pendiri dan pemimpin Kompas, Pak Jakob Oetama (Pak JO). Sengaja atau tidak, Pak JO telah mencetak tokoh-tokoh itu hingga menjadi idola pembaca.
Saya mengenal nama Pak JO hanya dari gemerlapan berita politik dan sosial di Tanahair. Tak pernah bertemu muka dan hanya sedikit membaca buku dan artikel tentang beliau.
Kesan saya, Pak JO mengembangkan anak-anak buah sekaligus anak-anak didiknya, dengan menanamkan tata-nilai dan membangun budaya. Tak heran kalau sampai titik waktu tertentu, ”orang Kompas” mempunyai karakter yang kokoh bagaikan tugu batu, tapi lentur bagaikan penari serimpi.
Ada paling tidak 10 values ajaran Pak JO. Enam saya ambil dari buku Syukur Tiada Akhir (St. Sularto, 2011, halaman 122), yaitu: menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya, mengutamakan watak baik, profesionalisme, semangat kerja tim, berorientasi pada kepuasan konsumen, dan tanggungjawab sosial.
Sedangkan empat lainnya dari Kompas Way, Jokob Oetama 85 (St. Sularto dan F Harianto Santoso, 2016, halaman 3 33), yaitu: menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan, Indonesia kecil, kemanusiaan yang beriman, dan committed observer.
Demikianlah, kemudian Kompas mulai membentuk diri dengan gaya orkestra, sementara Pak JO sebagai dirigen tunggal yang sulit dicari (atau tak ada) gantinya.
Kompas malang melintang di dunia persilatan media cetak di Indonesia. Kompas menjadi juara pertama, tanpa juara kedua sampai kelima. Saingan terdekatnya berada di peringkat keenam.
“Tak ada gading yang tak retak”, begitu pula halnya dengan Kompas. Pepatah lain menjelaskan keretakan gading itu.
“Setiap tokoh ada masanya, setiap masa ada tokohnya”, demikianlah sebuah pepatah bertamsil. Itu juga terjadi dengan Kompas dan Pak JO.
Ketika sekira 10 tahun lampau Pak JO mulai berangsur mengurangi keterlibatannya dalam organisasi, gerbong kereta mulai melambat. Sinar berkilau mulai redup. Spirit ajarannya mulai dilupakan. Praktik-praktik manajemen tauladannya mulai dianggap kuno dan tidak njamani.
Satu hal mudah terlihat. Tokoh-tokoh jurnalis Kompas, seperti yang di antaranya, saya tulis di atas, tak lahir lagi. Mereka miskin penerus.
Jurnalis Kompas kini jarang dikenal khalayak.
Tulisan-tulisannya kurang nendang. Ulasan dan analisanya tak dicari orang. Tak ada reportase olahraga yang menggigit. Sindiran dan sketsa Oom Pasikom yang dulu senantiasa menggelitik, hampir 20 tahun absen, tak ada gantinya.
Sentilan Mang Usil garing. Singkatnya, Kompas mejen.
Ketika tiga pekan lalu mendengar kabar bahwa Pak JO meninggal dunia dalam usia 88 tahun, rasa was-was akan “kehilangan” Kompas semakin mendera. Malam gelap tambah gulita. Panas matahari tambah terik. Gerimis menjadi hujan lebat.
Bahkan ketika masih didampingi Pak JO, dalam posisi non aktif pun, Kompas berangsur surut ke belakang dimakan zaman yang meroket dengan kecepatan cahaya. Bagaimana sepeninggalnya?
Moga-moga kekhawatiran ini terlalu berlebihan.
Kompas yang jatuh didera revolusi digital sekarang tertimpa tangga, ditinggal “ruhnya”. Meski sudah diperkuat beberapa “adik-adiknya”, di antaranya KompasTV dan Kompas.com, kepergian Pak JO tak mampu mempertahankan pamornya seperti dulu yang nyaris “seng ada lawan”.
Sebagai pelengkap renungan sungkawa ini, saya ingin mengutip ekspresi duka-cita dari Walikota Jakarta Selatan, Marullah Matali, saat mengomentari kepergian Jakob Oetama (Kompas.com, 10/09/2020 :09.57)
“Kompas adalah Jakob Oetama; Jakob Oetama adalah Kompas.”
Sungguh, saya mengharap agar pernyataan Walikota Jakarta Selatan itu tak mewujud secara harafiah. Moga-moga Kompas tidak identik dengan Jakob Oetama. Kompas, dengan 10 values warisan Pak JO, harus terus berkiprah, meski “sang spirit” sudah tiada.
“Selamat jalan pak Jakob Oetama – Selamat terus terbang tinggi ke angkasa raya Kompas”.
@pmsusbandono
27 September 2020