Selasa, 16 Maret 2021: Berbuat Baik Setiap Waktu

0
460 views
Ilustrasi: (Sr M Ludovika OSA)

Bacaan I: Yeh 47:1-9.12
Injil: Yoh 5:1-16

“TIDAK ada benarnya, di mata dia, apa pun yang saya buat selalu salah,” kata seorang anak kepada sahabatnya.

“Sepertinya, Pak Guru itu sentimen denganmu,” kata temannya.

“Tidak tahulah. Tetapi perasaanku juga mengatakan demikian, beliau tidak suka denganku,” kata anak itu.

“Kamu pernah membuat beliau marah atau tersinggung?,” tanya salah satu temannya.

“Saya pernah protes, soal PR. menurut saya, karena banyak PR tidak pernah dikoreksi, nilai juga tidak jelas,” jawabnya.

“Betul, itu sih sudah menjadi rahasia umum. Banyak memberi tugas, tetapi tidak pernah dikoreksi, dan tidak jelas untuk apa,” sahut salah satu temannya.

“Mungkin kalau itu penyebabnya, kamu harus minta maaf pada Pak Guru, dari pada berlarut-larut,” kata salah teman lainnya.

“Saya rasa tidak perlu minta maaf dengan orang yang tidak bijak seperti itu,” kata anak itu dengan tegas.

“Kamu tidak takut risikonya. Kalau nilai jelek, kamu akan kehilangan kesempatan dapat bea siswa,” kata temannya.

“Saya tidak pikir sejauh itu. Namun bagiku akan lebih senang jika dengan protesku. PR yang kita buat lebih dihargai dan ada feedback-nya bagi kita,” katanya.

Tidak mudah bersikap bijak bila hati kita diliputi perasaan terluka.

Sering kali kita bertindak atas dasar perasaan, hingga pikiran yang sehat seakan dininabobokan.

Hasilnya adalah fanatisme yang sempit. Seperti orang-orang Yahudi yang merasa hukumnya diinjak-injak oleh Yesus, yang menyembuhkan orang pada Hari Sabat.

Mereka tidak bisa berpikir bahwa sudah tiga puluh delapan tahun orang lumpuh itu dengan tak berdaya mengharapkan kesembuhan. Dan tidak seorangpun peduli, hingga pada Hari Sabat itu harapannya terpenuhi karena berjumpa dengan Yesus.

Orang-orang Yahudi tidak bisa bersyukur dan bergembira dengan orang yang mengalami mukjizat itu, karena hatinya diliputi kemarahan dan kebencian.

Mata hatinya tertutup kabut untuk melihat Yesus sebagai seorang Mesias.

Demikian juga Pak Guru itu, tidak bisa melihat usulan atau protes sebagai jalan untuk perbaikan kinerjanya dalam mengoreksi PR para siswanya.

Hatinya terlanjur diliputi rasa malu dan ngengsi hingga selalu berusaha menutupi kelemahannya dengan bersikap keras pada murid yang kritis padanya.

Apakah kita tidak memberikan beban yang berlebihan pada orang lain atas keberadaan hidup kita?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here