Selepas dari OSF Semarang, Sri Endang Rukmini Jadi Guru di Pedalaman Simpang Dua, Ketapang (1)

0
333 views
Pak Agustinus Harjoseputro dan Bu Anastasia Sri Endang Rukmini. (Dok. Keluarga Bu Endang)

NAMA saya Anastasia Sri Endang Rukmini. Saya adalah guru pensiunan  SMP Usaba 5 Simpang Dua, Keuskupan Ketapang, Kalbar.

Saya lahir di Semarang tanggal 18 April 1950, anak pertama dari 10 bersaudara. Biasa dipanggil Bu Endang atau Bu Harjo.  

Mengajar di SD Mardi Rahayu Ungaran

Pendidikan SD dan SMP saya tempuh di Ungaran, Jawa Tengah. Setamat SMP saya membantu di SD Santa Maria milik para Suster Abdi Kristus di Ungaran. Sekarang, SD itu sudah berubah nama menjadi SD Mardi Rahayu.

Tahun 1968 saya lulus dari Kursus Pendidikan Guru (KPG). Setelah lulus, saya mengajar di SD Santa Maria Ungaran hingga tahun 1970.

Kemudian mulai tahun itu, saya pindah mengajar di SD Christus Rex di Semarang.

Bergabung masuk OSF Semarang

Tahun 1972, saya bergabung masuk menjadi anggota Kongregasi Suster-suster Santo Fransiskus dari Tobat dan Cinta Kasih atau OSF Semarang.

Sebagai suster biarawati OSF Semarang, saya pernah mengajar di SD Marsudirin Semarang dan SD Marsudirini Muntilan.

Tahun 1977, saya mengundurkan diri dari OSF Semarang. Pada tahun 1978, saya menikah dengan Agustinus Harjoseputro asal Yogyakarta.

Menuju Simpang Dua, Keuskupan Ketapang di Kalbar

Tahun 1979, suami saya Agustinus Harjoseputro berjumpa dengan Bapak Uskup Keuskupan Ketapang: Mgr. Blasius Pujaraharja.

Waktu itu, beliau sedang berada di rumah keluarga besarnyaq di Gamping. Beliau adalah uskup kedua Ketapang setelah uskup pertama Mgr. Gabriel Sillekens CP pensiun dan kemudian meninggal dunia.

Mgr. Blasius menerima tahbisan episkopalnya  bulan Juni 1979. Dari beliau, suami saya mendapat informasi bahwa salah satu SMP yang dikelola oleh Yayasan Usaba milik Keuskupan Ketapang masih memerlukan guru.

Nama SMP tersebut adalah SMP Usaba 5 Simpang Dua. Bapak Uskup menawari suami saya untuk berkarya di Ketapang, Kalimantan Barat.

Setelah berembug akhirnya, kami sepakat untuk pergi ke Ketapang. Awal Agustus 1979 kami berangkat dari Yogyakarta naik travel menuju Semarang. Sampai di Semarang menginap di Bruderan FIC di Randusari. Keesokan harinya, kami naik pesawat kecil menuju Ketapang.

Dari lapangan pesawat Rahadi Oesman Ketapang kami menuju Keuskupan di Jl. A. Yani No. 45 Ketapang. Di Ketapang, kami tinggal di asrama Keuskupan. Situasi Ketapang kala itu masih sepi. Kebanyakan orang berjalan kaki dan bersepeda. Yang memakai sepeda motor belum banyak. Apalagi memakai mobil bisa dihitung dengan jari.

Sekitar 3 bulan kami berada di kota Ketapang. Selama itu hanya jalan-jalan di seputar Kota Ketapang.

Kami pergi ke Biara Bruder FIC di Jalan A. Yani, Susteran OSA dan Biara Passionis di Jl. Jendral Sudirman. Selain itu hanya pergi ke pasar dan berkeliling di Kompleks Pertokoan Jl. Merdeka.

Pulau Sempadi yang tak berpenghuni di wilayah perairan Ketapang, Kalbar. (YouTube)

Tiga hari Terdampar di Pulau Sempadi

Akhir Oktober 1979, kami menuju Paroki Simpang Dua. Dari Ketapang menumpang motor air menuju Teluk Melano, Kecamatan Simpang Hilir yang sekarang termasuk Kabupaten Kayong Utara.

Karena cuaca buruk, gelombang besar kami terdampar di Pulau Sempadi – sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Di situ kami berlindung dari gelombang laut yang besar di pulau tersebut.

Selama di Pulau itu kami tetap berada di dalam kapal.

Setelah cuaca membaik kami menuju Teluk Melano. Di Teluk Melano harus menunggu sepekan lagi baru menuju Simpang Dua. Di Teluk Melano kami tinggal di rumah keluarga orang Melayu.

Dari Teluk Melano, kami kembali naik motor air milik Pak Banding. Ia adalah abangipar dari Pastor Lintas Pr.

Perjalanan ini terjadi dengan menyusuri Sungai Simpang menuju Simpang Dua.

Pejalanan dari Teluk Melano menuju ke Simpang Dua ditempuh dengan motor air. Berlangsung selama sehari semalam. Selama berada di motor air kami tidak bisa tidur karena getaran suara mesin motor yang kadang membuat telinga terasa gatal.

Tiba di Simpang Dua

Kami tiba di Simpang Dua pagi hari tanggal 24 Oktober 1979. Di Simpang Dua berlabuh di pangkalan motor air milik Pak Banding. Setelah turun dari motor air, kami menuju rumah Pak Banding sebelum diantar ke Pastoran Simpang Dua.

Setelah makan dan minum kopi, kami diantar Pak Banding ke Pastoran menemui Pastor Johan Verbeek CP.

Saat itu, beliau menjadi Pastor Paroki Simpang Dua. Oleh Pastor Johan Verbeek CP, kami diantar ke sebuah asrama yang lokasinya hanya beberapa meter saja jaraknya dari Pastoran.

Asrama tersebut adalah bekas rumah yang ditempati orang-orang Alcomin.

Alcomin adalah sebuah perusahaan tambang bauksit asal Amerika Serikat. Beberapa tahun sebelumnya, sekitar tahun 1974 datang ke Simpang Dua para insinyur Amerika untuk mengadakan eksplorasi tambang bauksit di wilayah tersebut.

Adik dari suami saya yang bernama Mujiono pernah ikut rombongan para insinyur tersebut ke Simpang Daua.

Di Simpang Dua, kami berkoordinasi dengan Pastor Johan Verbeek CP. Ternyata di Simpang Dua ada sebuah SMP Swasta yang telah diserahkan kepada Yayasan Usaba dengan nama SMP Santo Mikael Usaba 5 Simpang Dua.

Di situlah nanti saya dan suami akan bertugas. (Berlanjut)

PS: Sebagaimana dikisahkan oleh Bu Endang kepada penulis.

Baca juga: Bu Guru Endang Ngajar di Pedalaman Simpang Dua Ketapang, Murid Lebih Tua Dibanding Gurunya (2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here