MASALAH pembentukan karakter, model paranese atau nasihat tidak dapat dimengerti oleh nalar bocah atau remaja, bahkan kita orang dewasa. Karena nasihat berangkat melulu dari pendekatan akal budi semata, misalnya, kamu harus jujur supaya hidupmu tidak hancur.
Kata ‘harus’ itu sendiri merujuk pada nada positifistik ala ilmu alam. Harus itu pasti hukumnya, padahal justru kehidupan yang kompleks dan rumit ini akan gagal dan hancur jika didekati dengan semata akal budi sebagaimana nyata krisis ekologis.
Ancaman atau pun penilaian, sampai hukuman juga tidak dapat mudah diterima oleh nalar bocah, atau remaja, bahkan kita orang dewasa. Karena acaman, hukuman atau pun penilaian seakan mendudukkan orang yang diancam sebagai pesakitan, atau penjahat, atau objek/bukan subjek. Yang tidak dapat diajak untuk menggunakan akalbudi, rasa, dan kehendak.
Masalah pembentukan karakter adalah bagaimana cara berbicara agar didengarkan oleh subyek, peserta didik? Ini masalah yang jadi titik tolak penulis.
Penulis atau tepatnya penyair, Monic De Blor atau Sr Maria Monika Puji Ekowati SND, adalah seorang pendidik. Ia berpengalaman menjadi guru selama 35 tahun lebih sejak awal tahun 1980-an hingga kini, bahkan pendidik ini lahir dari keluarga guru. Jadi, sejak ‘adven’ sampai ‘natal’-nya ia berada di dalam suasana lingkungan keluarga guru.
Baca juga: “Semburat Putih Pelangi Kasih”, Novel Perdana Karya Suster Biarawati
Penyair yang pendidik ini pasti tahu benar bahwa peserta didiknya tidak mendengar ketika didekati dengan cara nasihat, ancamanan, hukuman atau pun penilaian yang rasional sekali pun. Peserta didik yang dibentuk karakternya diajak oleh penyair yang pendidik untuk tetap secara sehat menata diri, bukan untuk menghancurkan diri melihat kekurangan atau pun kelemahan diri.
Maka digunakan metode pendidikan karakter melalui imaginasi atau pun narasi.
Mentalitas sebagai pendidik ada dibalik diri penyair ketika menulis novel bertitel Kisah Hidup Dewi Kili Suci. Penemuan jadidiri atau karakter tokoh utama Sanggra, Puteri Raja Airlangga menjadi Dewi Kili Suci ada dalam lingkungan Raja dan Ratu yang arif bijaksana, Paman Narotama, serta Mpu Barada dan Mpu Kuturan yang memiliki padepokan atau pendidikan olah kanuragan dan olah rohani.
Lingkungan keluarga dan sekolah yang hangat dan menyenangkan menjadi power tokoh utama menjadi seorang Dewi dengan karakter sejati ketika ditempa oleh tantangan mengerikan Lembu Suro dan juga bullying atau perundungan oleh tokoh antagonis, Bui Daramak, Sekung dan Buris.
Keluarga dan sekolah yang penuh kasih menjadikan tokoh utama berkekuatan menghadapi tokoh antagonis.
Penyair yang pendidik ini sekaligus juga seorang suster biarawati Katolik atau seorang rohaniwati yang mempersembahan diri total seluruh hidupnya bagi Tuhan, Gereja dan bangsa. Pengalaman perkembangan karakter sebagai seorang rohaniwati dengan sangat indah digambarkan melalui imaginasi sosok Dewi Kili Suci yang meninggalkan derajat sebagai Ratu, pewaris tahta Raja Airlangga menjadi seorang petapa suci dengan bertarak triprasetya untuk hidup miskin, taat pada kehendak Sang Hyang Widhi, serta hidup murni atau tidak menikah.
Kisah hidup untuk triprasetya merupakan proses pergumulan rohani sejak usia anak, remaja dan dewasa melalui doa dan tapa, tetapi juga laku perziarahan melalui pelayanan kepada masyarakat. Kiranya, inti pesan utama novel ini adalah institusionalisasi karakter rohaniwan (triprasetya) merupakan proses individualisasi dan sosialisasi diri dengan mengkonstruksi atau internalisasi nilai-nilai luhur sebagai pribadi dan manusia sosial.
Proses kontruksi karakter tersebut dilukiskan penyair melalui imaginasi, dan narasi yang merangsang ingatan, kehendak, citarasa, bahasa simbol dalam diri pembaca yang disapa jiwa seutuhnya, bukan hanya akal dalam bentuk ujaran nasehat, pepatah petitih saja.
Alur atau plot narasi dibangun oleh karakter tokoh cerita.
Berlatar belakang historis di suatu kerajaan Jawa, maka disebut kisah, dan kisah bukanlah semata-mata historis. Akan tetapi antara yang historis dan kisah ada unsur utama yang sama, yakni: melukiskan perkembangan kesadaran manusia ke taraf yang lebih manusiawi atau menjadi manusia.
Jika kita bandingkan novel ini dengan novel lain berlatar belakang sejarah yang ditulis oleh Mangunwijaya dengan novel Roro Mendut atau Pramoedya Anantatoer dengan Bumi Manusia atau Arus Balik, maka novel-novel mereka itu ini membangun plot dengan karakter emansipasi manusia dari perbudakan budaya patriarkhisme, gerakan feminisme ala RA Kartini atau hancurnya kekuatan bangsa oleh intrik politik antar para raja.
Akan tetapi, bedanya adalah Monic De Blor (a) membangun plot dengan konflik batin yang bersifat rohani atau ada pertempuran roh jahat (libido domiandi, libido adorandi, libido possendi) bergumul dengan roh ilahi dalam diri setiap insan. Sejak awal hingga akhir kisahnya adalah pergumulan rohani sampai pada komitmen untuk triprasetya.
Oleh narasi yang dibangun dengan alur pergumulan spiritual itu, triprasetya menemukan konteks perjuangan di alam nyata, yang secara subtil di dunia pendidikan. Juga relevan dengan gerakan anti-korupsi dalam tata negara.
Monic De Blor sebagai penyair atau pun seniman sebagaimana umumnya seniman mengandalkan aspek refleksi tingkat tinggi yang melibatkan daya imaginasi, maka penyair ini tidak mau terjebak atau dibatasi oleh ajaran atau tafsir harafiah dari kitab suci, atau pun dogma agama, dan bahkan teologi tertentu. Penyair ini melukiskan karakternya dari upaya spiritualitas, atau mengandalkan kekuatan manusia untuk menemukan hidup sejati.
Dilukiskan kekuatan manusiawinya dalam sering melakukan laku tapa brata, akan tetapi pengalaman campur tangan ilahi diakuinya. Maka perjumpaan dengan Bunda Maria, Bunda Yesus bukan untuk dipahami secara teologis, tetapi lebih secara spiritual, pengalaman rohani. Maka, yang penting adalah budaya historis Jawa dan Bali, khusus ngelmu laku dalam tapa brata dan doa dialaminya turut membentuk karakternya menjadi Dewi Kili Suci.
Pengalaman yang Hyang Ilahi terjadi dalam budaya seperti laku tapa brata dan doa seperti ngebleng, pathi geni, ziarah dengan melayani masyarakat yang dibimbing oleh Guru atau Mpu di lingkungan pendidikan.
Monic De Blor sebagai perempuan telah menulis pengalaman rohaninya sebagai perempuan. Maka dipilihnya tokoh utama seorang Dewi. Suatu ekspresi spiritualitas perempuan, spiritualitas kasih keibuan: Semburat Putih, Pelangi Kasih.
Akhirnya, inilah novel sebuah media yang toh juga membawa hiburan bagi pembacanya untuk berimaginasi seperti naik burung Jatayu untuk sampai di padepokan yang indah bak suwarga loka. Inilah karya seni yang menyenangkan sekaligus menginspirasi (dulcis et ulite).
Oleh karena itu, novel Kisah Dewi Kili Suci ini sangat layak untuk dibaca oleh bukan hanya oleh sesama rohaniwati, tetapi juga anak, remaja, dan orang dewasa, juga orangtua, serta guru, dan semoga politikus juga baca.
Buku ini layak dibedah dalam forum diskusi/seminar tentang pendidikan karakter, atau pendidikan keluarga.
Syalom Staf SESAWINET terima kasih telah dimuatnya Novel ” Semburat Putih Pelangi Kasih” Teristiwa untuk Bp Agustinus Sugeng Agus Priyono.Semoga media ini memberi pencerahan dan sumber info yang berguna bagi para pembacanya.Salam dan doaku Berkah Dalem Gusti AMDG