Seminar “Harmoni dalam Keberagaman”, Cara Kolese de Britto Rayakan Lustrum XIV

0
696 views
Seminar untuk perintati lustrum SMA de Britto Yogyakarta. (Jacko Ryan

BERTEMPAT di Tentrem Ballroom, Hotel Tentrem Yogyakarta pada 26 Juli 2018 lalu, Paguyuban Alumni SMA Kolese de Britto bersama pihak sekolah menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Harmoni dalam Keberagaman”.

Kegiatan menyambut ulang tahun ke 70 (Lustrum XIV) SMA Kolese de Britto tersebut dihadiri berbagai tokoh bangsa seperti Alissa Wahid (Dewan Pembina The Wahid Institute), Mahfud MD (Dewan Pengarah BPIP), Bambang Brodjonegoro (Menteri PPN/Kepala Bappenas), Ahmad Syafi’i Maarif (Dewan Pengarah BPIP), dan J. Kristiadi (peneliti senior CSIS).

Hadir juga Mendiknas Muhadjir Effendy sebagai keynote speaker dan mewakili Presiden Joko Widodo yang semula sudah mengkonfirmasi diri akan hadir dalam seminar tersebut.

Panitia mengangkat tema keberagaman dengan tujuan membangkitkan kembali semangat keberagaman, kebersamaan, hidup berdampingan dengan orang-lain dan menghargai perbedaan untuk menuju persatuan Indonesia. Di samping itu, tema ini didasari dari komunitas Kolese de Britto yang terdiri dari aneka ragam suku, budaya, agama, dan latar belakang sosial-ekonomi.

Para pembicara seminar.

“Dari 700-an murid, 40% lebih murid berasal dari luar kota Jogjakarta. Murid di Kolese de Britto tercatat berasal dari 95 kabupaten dan 23 provinsi di Indonesia,” ungkap Kepala SMA Kolese de Britto, Prih Adiartanto.

Cura personalis

Sebagai salah satu sekolah yang dimiliki dan dikelola oleh Serikat Yesus (SJ), SMA Kolese de Britto melaksanakan proses pendidikan dengan berbasis Pedagogi Ignatian.

Salah satu pendekatan dalam proses pendidikan tersebut adalah cura personalis. Model pendekatan ini senantiasa memperhatikan perkembangan murid cara pribadi dan penghargaan martabat setiap murid secara personal.

Pendekatan itulah yang kemudian mendapat pujian dari Mendiknas. Menurutnya, salah satu dari kelemahan sistem pendidikan di Indonesia saat ini karena masih bersifat klasikal, yakni menyetarakan murid dan mengabaikan keistimewaan tiap individu. “Kolese de Britto justru menawarkan pendampingan yang berbeda: pendampingan murid secara personal,” ungkapnya.

Dengan menyebutkan Pemikiran Ki Hajar Dewantara, beliau menekankan pentingnya pendampingan murid secara personal. “Keistimewaan dan keunikan para murid secara personal harus diakui dan dikembangkan,” tambahnya.

Berbicara tentang keberagaman, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro justru menganggap keberagaman sebagai modal sosial. “Harmoni dalam keberagaman menjadi modal sosial yang dimiliki Indonesia. Kita patut bersyukur akan hal itu karena tidak semua negara bisa memiliki dan mempraktikkannya,” tegasnya.

Menurut  Bambang Brodjonegoro, keberagaman di Indonesia justru harus bisa dimanfaatkan sebagai sebuah kesempatan untuk memajukan Indonesia. Sebagai seorang Muslim, beliau juga menceritakan pengalaman keberagaman yang ia rasakan saat dua belas tahun menempuh pendidikan di sekolah Katolik.

Hal senada diungkapkan pula oleh Mahfud MD dalam menjelaskan keberagaman. “Kalau kita meyakini Tuhan Mahakuasa, Ia seharusnya bisa menciptakan manusia sama dan seragam. Tetapi Ia lebih memilih menciptakan perbedaan.”

Menurut Mahfud, perbedaan tercipta agar kita saling bisa berbuat baik dan saling melengkapi.

Tesis itu dilengkapi oleh Syafi’i Maarif, “Keberagaman dan kebhinekaan harus dipandang sebagai ketetapan Allah (sunnatullah)”, tambahnya.

Para pembicara usai menyampaikan paparannya.

Suara alumnus

J.Kristiadi yang merupakan alumnus  dari SMA Kolese de Britto mengungkapkan pengalaman nya ketika bersekolah di SMA Kolese de Britto. Baginya, visi-misi SMA Kolese de Britto benar-benar dipraktikkan dalam konteks yang mudah dimengerti para muridnya.

Lebih dari itu, sekolah ini juga memiliki keterampilan untuk mengusahakan nilai-nilai praktis yang bersifat positif. “De Britto menerapkan nilai-nilai Kristiani secara kontekstual, bahkan liberal. Tak hanya itu, tempat ini menjadi lahan persemaian yang subur bagi nilai-nilai keindonesiaan,” tegasnya.

Kelompok inklusif

Mengingat kembali peristiwa teror bom di Surabaya, Alissa Wahid justru membangkitkan kesadaran kita akan paham ekstrimis di sekitar kita yang dapat mengancam keberagaman.

Dalam kesempatan itu, Alissa Wahid menyatakan bahwa kelompok ekstrimis/teroris di Indonesia memang berjumlah sedikit, tetapi kelompok inklusif dan toleran di Indonesia juga berjumlah sedikit. Saat ini, banyak masyarakat berada dalam ‘golongan tengah’ yang rawan dipengaruhi oleh kelompok ekstrimis tersebut. Maka, penting bagi kita yang berada dalam kelompok inklusif dan toleran untuk merangkul mereka dan berani berpacu membalik arus.

Acara tersebut dilanjutkan dengan sesi tanya jawab bagi ratusan peserta seminar yang ingin bertanya kepada narasumber.

Seminar “Harmoni dalam Keberagaman” selesai tepat pada pukul 13:30 WIB dan acara diakhiri dengan ramah tamah bagi seluruh peserta seminar.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here