Seminar Tahunan Skolastikat SCJ Yogyakarta: Lectio Divina dalam Hidup Membiara

0
1,215 views
Segenap rohaniwan-rohaniwati mengikuti seminar tahunan Skolastikat SCJ di Yogyakarta. Tahun 2017, seminar tahunan ini mengambil tema Lectio Divina dan Kitab Suci.

SEKITAR 150-an biarawan-biarawati lintas kongregasi yang berada di Kevikepan DIY mengikuti seminar tahunan yang diadakan oleh Skolastikat SCJ Yogyakarta pada Kamis (25/5/2017). Tahun 2017 ini merupakan seminar kelima yang diadakan oleh rumah pendidikan para calon imam Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ).

Adapun tema yang diusung pada tahun ini adalah “Lectio Divina dalam Hidup Membiara.”

Rektor Skolastikat SCJ, Romo  FX Tri Priyo Widarto SCJ menyatakan dalam sambutannya bahwa tema-tema yang diangkat dalam seminar tahunan ini adalah tema-tema yang berkaitan dengan hidup membiara. Secara khusus, tema tahun ini diangkat karena budaya lectio divina yang nampaknya sudah semakin luntur di kalangan para religius, terlebih karena kesibukan dan perkembangan sarana komunikasi elektronik. Ia berharap agar melalui tema yang diangkat kali ini para biarawan-biarawati dapat menyegarkan kembali semangat untuk ber-lectio divina. 

Dua pembicara hadir dalam seminar kali ini. Mereka adalah Rm FX Marmidi SCJ, Lic. S. Th. dan Sr. Theresia Purbaningsih Rubijabekti OCSO. Seminar dimoderatori oleh Fr. Antonius Edy Prasetyo SCJ.

Dua narasumber seminar tentang lectio divina dan kitab suci bersama moderator acara. Acara seminar tahunan ini berlangsung di Skolastikat SCJ Yogyakarta.

Lectio divina dan Kitab Suci

Pembicara pertama, yakni Romo FX Marmidi SCJ memaparkan poin-poin penting tentang Lectio Divina dan kaitannya dengan Kitab Suci. Dosen Kitab Suci di STFT St Yohanes Pematang Siantar ini menyatakan bahwa dewasa ini lectio divina menjadi salah satu “evangelisasi baru” untuk membangun komunitas Kristiani dan hidup religius.

Romo Marmidi SCJ

Mengutip apa yang dikatakan oleh Perfectae Caritatis (PC) no 6, Rm Marmidi SCJ mengajak para peserta untuk menyadari kembali tradisi Lectio divina ini. Dalam PC 6 dikatakan demikian: “Dalam memelihara semangat doa dan menimba sumber-sumber spiritualitas Kristiani yang asli, hendaknya para biarawan-biarawati membaca Kitab Suci dan merenungkannya supaya memperoleh ‘pengertian akan Yesus Kristus yang lebih mulia dari segalanya’ (Flp 3:8).”

Menurut lulusan Teologi Kitab Suci Universitas Gregoriana Roma ini, sebagai sebuah metode berdoa, lectio divina mesti merupakan “membaca Allah,” bukan “membaca tentang Allah” dengan tujuan untuk menjalin relasi yang erat dengan Allah. “Karena itu dalam lectio divina orang beriman memasuki misteri Allah dengan mengambil sikap dialog dengan sabda-Nya,” ungkap Rm Marmidi SCJ.

Berhadapan dengan Sabda Allah, disposisi yang perlu dikembangkan adalah sikap mendengarkan. Dan inilah salah satu sikap yang perlu dalam lectio divina. Selain itu, dalam lectio divina juga perlu mendialogkan antara Sabda Allah dengan pengalaman hidup. “Lectio divina pada saat yang sama merupakan bacaan Kitab Suci dan sekaligus bacaan pengalaman hidup dari orang yang membacanya. Cara membaca Kitab Suci dengan memberi tekanan pada teks dan kehidupan ini mengandaikan adanya dialog di antara keduanya,” ungkap formator di Seminari Tahun Rohani  (TOR) St. Markus Pematangsiantar ini.

Semangat para suster menyimak paparan tentang harta kekayaan rohani tradisi spiritual Gereja Katolik.

Metode dan langkah lectio divina

Mengutip dari apa yang dikatakan dalam Dokumen Komisi Kitab Suci Kepausan tentang Interpretasi Kitab Suci dalam Gereja, Rm Marmidi menyebutkan beberapa metode dan pendekatan yang bisa dipakai untuk memahami dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Metode itu adalah:

  1. Memperhatikan kata-kata yang berparalel. Artinya, untuk memahami teks Kitab Suci, seseorang perlu membaca dengan teliti yakni dengan memperhatikan kata-kata atau kalimat yang berhubungan satu sama lain dalam kalimat atau perikop. Dengan mengelompokkan kata yang saling berhubungan akan membantu menemukan makna dari teks.
  2. Mencari arti kata. Arti dari suatu kata atau frase tertentu dicari dalam hubungannya dengan kata atau frase dalam kalimat yang sama atau dalam satu perikop. Sesudahnya, membandingkan kata atau kalimat itu dengan keadaan diri.
  3. Ketika berhadapan dengan bagian Kitab Suci yang berupa narasi atau pengkisahan, seseorang dapat mengidentifikasi diri dengan tokoh dalam kisah itu: apa yang ia buat, apa yang ia katakan, informasi apa yang dikenakan padanya.
  4. Analisis pragmatis. Pragmatis ini merupakan analisa baru yang dimunculkan dalam studi teks-teks Kitab Suci dengan memperhatikan pemakaian Bahasa. Analisa pragmatis ini mengamati manakah hubungan antara teks dan pembaca. Teks atau tulisan adalah alat yang digunakan oleh penulis untuk membangun komunikasi Bahasa dan untuk mempengaruhi dan membimbing pembaca supaya melakukan tindakan atau membangun tingkah laku.

Belajar dari Rubiah Trappistin Gedono

Setelah mendengarkan paparan dari segi teoritis, para peserta seminar diajak untuk mendengarkan paparan dan sharing dari Sr. Theresia OCSO. Biarawati kelahiran Purbalingga ini menyatakan bahwa praktek lectio divina berakar dari Origines (Abad 3).

Sr. Theresia OCSO

Pada abad ke-6, St. Benediktus menuangkan praktek lectio divina ini dalam peraturannya ditujukan bagi para rahibnya sebagai hal mendasar dalam penghayatan hidup kerahiban.

Pada awal abad ke-12, St. Bernardus dari Clairvaux menekankan pentingnya lectio divina dalam kehidupan para rahib. “Santo Bernardus menyatakan bahwa lectio divina dan kontemplasi yang dibimbing oleh Roh Kudus merupakan kunci yang menghidupi spiritualitas Kristiani,” papar Sr. Theresia OCSO.

Sr. Theresia OCSO menyebutkan bahwa tujuan utama dari lectio divina adalah untuk memperdalam pengenalan akan Sabda Allah dan masuk ke dalam komunio dengan Allah Tritunggal. “Dalam lectio divina, teks Kitab Suci tidak dilihat sebagai objek studi melainkan ditemui sebagai Pribadi atau Sabda Hidup itu sendiri,” tegasnya.

Bagi para suster di Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono, ada waktu khusus yang ditetapkan untuk lectio divina.

Sambutan Rektor Skolastikat SCJ dan paparan kedua narasumber.

“Dalam tata hidup kami yang diambil dari PSB, kami menetapkan waktu tertentu setiap hari untuk lectio divina, yaitu pada fajar hari sesudah Ibadat malam, kami ke tempat yang namanya Scriptorium, di mana masing-masing suster mempunyai tempat untuk menyimpan Kitab Suci dan buku bacaan rohani lainnya,” ungkap biarawati yang lulusan S1 Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma sebelum bergabung dengan OCSO ini.

“Pada saat itu, kami memulai hari dengan mengambil bahan bacaan misa dari Kalender Liturgi. Awali dengan doa pada Roh Kudus, agar saya, Roh Kudus, Maria dan Sabda menuju kepada Bapa. Ijinkan Roh Kudus membimbing dan membuka hati kita pada misteri Yesus, Sang Sabda. Juga bisa minta Santo yang menulis Injil yang kita baca,” lanjutnya.

Antusiasme perserta seminar.

Sr. Theresia OCSO juga menggarisbawahi bahwa saat ini banyak orang yang sulit mencari waktu untuk melakukan lectio divina. “Jangan beralasan tentang waktu. Cukup sediakan waktu 20 menit setiap hari, tak perlu berjam-jam. Itu sudah cukup,” tandasnya.

Dikatakannya pula bahwa Kitab Suci juga semestinya menjadi makanan pokok harian setiap orang beriman, terlebih lagi para biarawan-biarawati. Akan tetapi saat ini sudah begitu banyak buku-buku renungan ataupun bacaan rohani yang tersedia, sehingga mengakibatkan orang lebih suka memilih membaca buku-buku tersebut.

“Kecenderungan mau hasil instan, kecenderungan pragmatis, sehingga bukannya menu utama yang adalah Kitab Suci yang kami nikmati dengan antusias melainkan menu sampingannya. Kita suka baca tentang Kitab Suci, bukan Kitab Suci itu sendiri. Kita suka baca tentang doa, bukannya berdoa. Kita suka membaca tentang para mistikus daripada belajar menjadi seorang mistikus, seseorang yang rindu berada dalam kesatuan dengan Allah melalui hidup doa,” papar suster yang masuk pertapaan pada tahun 1993 ini.

Kredit foto: Romo Stephanus Sigit Pranoto SCJ/Skolastikat SCJ Yogyakarta

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here