TAHUN 1970-an, orang di Pulau Jawa selalu dibuat jengkel dengan pantat merah gatal-gatal karena digigit tinggi alias kepinding. Hewan kecil warna hitam ini suka diam di kisi-kisi di antara papan dipan kayu atau di balik anyaman tikar berbahan baku pandan. Yang pasti, hewan bernama tinggi atau kepinding ini musuh manusia saat tidur.
Ia menggigit pantat dan punggung, ketika orang tengah asyik tidur. Bukan hanya itu saja, binatang ini juga mengisap darah manusia. Maka, tak heran kalau sehabis kena gigitan serangga ‘nakal’ ini, pantat akan merah-merah. Ketika tinggi ini kita pithes, maka dari badannya akan mengalir darah merah –darah kita yang berhasil mereka sedot ketika kita terlelap tidur.
Baca juga: Seminari Menengah St. Laurentius Ketapang: Tiga Kata Penting (1)
Untuk menumpas tinggi, maka dipan harus kita semprot dengan cairan kimia tertentu. Waktu itu dikemas dalam bentuk botol beling (kaca) dan baru kemudian dicampur dengan air barulah cairan itu disemprotkan di tempat dimana kepinding itu bersembunyi. Tinggi atau kepinding sudah amat jarang ditemukan di Jawa, sekalipun di pedesaan.
Namun, kepinding masih hidup nyaman di kawasan hulu (pedalaman) Ketapang, Kalimantan Barat. Kompleks Seminari Menengah St. Laurentius Keuskupan Ketapang pun juga tidak imun dari serangan fajar pasukan tinggi alias kepinding ini. Tak ayal, pantat dan punggung para seminaris pun dibuat merah karena gigitan kutu penghisap darah manusia ini.
Usut punya usut, kepinding itu ‘dibawa masuk’ oleh seminari yang membawa kasur busa dari hulu. Padahal itu dilarang. “Alhasil, dalam waktu singkat, kepinding itu pun beranak pinak dengan sangat cepat sehingga harus dilakukan penyemprotan,” kata Romo Simon.
Liburan Natal dan Tahun Baru kali ini dimanfaatkan sebagai waktu terbaik guna membasmi pasukan kepinding ini. Maka dormit pun dibersihkan dan disemprot.
Kepinding –hewan zaman dulu—ternyata masih hidup di Ketapang dan di Seminari Menengah St. Laurentius Ketapang.