TAK banyak orang tahu bahwa ternyata Keuskupan Ketapang di Kalimantan Barat punya seminari menengah. Namanya, Seminari Menengah St. Laurentius.
Berdiri di atas lahan seluas 4 ha bersamaan dengan Pusat Pastoral Keuskupan dan paroki lokal, kompleks Seminari Menengah St. Laurentius Keuskupan Ketapang ada di ‘halaman belakang’ yang langsung berbatasan dengan ladang dan sawah. Tidak terlalu jauh dari situ, bisa tampak tower Bandara Rahadi Usman, pintu masuk utama dari dan ke Ketapang melalui jalur udara.
Deru suara mesin pesawat terbang setiap kali hendak airbone dan mendarat selalu terdengar nyaring di ujung bangunan kapel seminari. Kalau dilihat dari udara, maka bangunan seminari juga akan terlhat sangat mencolok, justru karena warna ngejreng-nya: hijau pupus, kuning, dan merah.
Pasang surut
Dalam perbincangan santai bersama RD Simon Anjar Yogatama dan Mgr. Pius Riana Prabdi di Wisma Keuskupan Ketapang pada hari Senin tanggal 26 malam, ada berbagai kisah menarik di sini. Pertama-tama, soal jumlah seminaris yang boleh dibilang ‘pasang surut’.
Jumlah seminaris di Seminari Menengah St. Laurentius yang ‘pasang surut’ itu terjadi karena berbagai faktor. Antara lain, kurangnya informasi di kalangan masyarakat katolik sendiri bahwa Keuskupan Ketapang sudah memiliki seminari menengahnya sendiri. Faktor lainnya adalah derajat kemampuan intelektual yang sering kali tidak ‘siap’ ketika harus mengikuti kurikulum pendidikan di seminari menengah.
Sekedar pengetahuan umum saja, para murid di seminari menengah mana pun biasanya harus mengikuti dua ‘kurikulum’ pendidikan secara berbarengan pada kurun waktu sama: pelajaran SMA umum nasional dan pelajaran-pelajaran ‘khas’ seminari seperti Bahasa Latin, KS, sejarah Gereja, dan program pendampingan dan pembentukan kepribadian lainnya.
“Banyak hal harus kami alami secara berdarah-darah,” ujar Romo Simon, seorang insinyur teknik industri asal Yogyakarta yang kemudian ‘banting stir’ dari semula seorang karyawan profesional dan kini menjadi ‘gembala’ pekerja di ladang Tuhan.
Calistung
Tentu bukan sebuah kiasan hiperbolik, ketika Romo Simon –imam diosesan Keuskupan Ketapang—ini menyebut kisah pengalamannya membentuk kepribadian para seminaris di Ketapang ini sebagai ‘pengalaman berdarah-darah’. Apalagi, Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prabdi yang ikut dalam pertemuan perbincangan santai di ruang tamu keuskupan itu juga menyuarakan hal sama.
Yang dimaksudkan kurang lebih begini. Rendahnya mutu pendidikan di pedalaman karena ketersediaan guru dan fasilitas yang serba terbatas akhirnya juga melahirkan kualitas intelektual yang kurang ‘siap’ di kala harus menempuh program pendidikan ‘di kota’ Ketapang yang jauh lebih maju.
Apa yang bisa kita bayangkan di Jakarta atau kota-kota kecil di Jawa sebagai ‘hal lucu’ tentu tidak bisa menganggap hal ini sebagai sebuah lelucon. Beberapa calon seminaris yang berasal dari ‘hulu’ (sebutan akrab untuk menyebut kawasan pedalaman), demikian keterangan Mgr. Pius Riana Prabdi, bahkan kemampuan dasar calistung (membaca, menulis, dan berhitung) pun masih belum memadai.
Bulan-bulan pertama, misalnya, para pastor dan frater pendidik di Seminari Menengah St. Laurentius di Ketapang harus mengajari mereka calistung dulu. “Pernah kejadian, ada seorang seminaris cara membaca teks ndelujur saja seperti teks itu tidak punya tanda baca, titik, koma, ambil jeda, dan seterusnya,” kata Mgr. Pius.
Itulah sebabnya, kata Pastor Simon menimpali ujaran Uskup, para formator di seminari menengah itu harus ‘berjibaku’ dan ‘berdarah-darah’ untuk membuat derajad intelektualitas para calon imam ini menjadi semakin lebih siap lagi. “Lebih baik ‘berdarah-darah’ di Ketapang, sebelum akhirnya mereka belajar di Seminari Tinggi nantinya,” kata Pastor Simon yang sehari-hari juga menjadi Sekretaris Bapak Uskup.
Tiga kata
Selain kerja keras dan tanpa lelah mengajari para seminaris untuk semakin lebih ‘siap’ dalam belajar, para imam dan frater formator di Seminari Menengah St. Laurentius ini juga ditantang untuk mampu membentuk kepribadian para calon frater ini sesuai martabat mereka sebagai nantinya calon imam. Tiga hal penting menjadi perhatian para formator di sini: terima kasih, tolong, dan maaf.
Menurut Romo Simon, tradisi kehidupan masyarakat di kawasan ‘hulu’ yang dulu sudah terbiasa menerima banyak hal karena kemurahan alam secara tidak sadar telah membentuk pribadi anak-anak muda ini sebagai pribadi yang kurang ‘tanggap’ terhadap lingkungan sosial. Taruhlah itu kebiasaan verbal mengucapkan terima kasih atas kebaikan orang atau menerima pertolongan dari orang lain.
“Kami harus mengajari mereka berinisiatif bilang terima kasih,” kata Romo Simon.
Hal kedua adalah jiwa besar hati untuk berani minta maaf apabila melakukan kesalahan. Hal ketiga adalah kelegaan hati untuk menolong orang lain.
Untuk kegiatan belajar mengikuti program pendidikan SMA, para seminaris ini bersekolah di SMA katolik asuhan para bruder FIC. “Mereka naik sepeda dari kampus seminari menuju kampus SMA,” terang Romo Simon.
Saat kembali di seminari inilah, program formation pembentukan kepribadian mulai digodok mulai dari penanaman nilai bertanggungjawab, kesediaan hati minta maaf dan menolong orang serta tahu terima kasih diajarkan. Para romo dan frater pembimbing mereka juga mengajari bercocok tanam sederhana dengan menanam terong, cabai, labu, dan sayur-mayur.
“Kalau soal berburu, kami tidak perlu mengajari mereka. Justru kami dibuat terkagum-kagum oleh kemampuan spontanitas mereka dalam berburu ikan, ular, dan aneka binatang lainnya,” terang Romo Simon.
Baca juga: Seminari Menengah St. Laurentius Ketapang: Kepinding Ada di mana-mana (2)