Senang, Gembira, Bahagia

0
166 views
Ilustrasi: Hidup bahagia. (Ist)

“HATI senang walau pun tak punya uang…..oo”.

Itu penggalan syair lagu Bujangan yang dipopulerkan Koes Plus, sekitar tahun 1970-an.  Sebagai penggemar berat Koes Plus saya sering menyanyikannya, meski kadang menjadi bahan olok-olok teman-teman.

Beberapa mengajukan protes. “Tolong tanyakan Koes Plus, bagaimana caranya bisa senang, saat tak punya uang”. Saya balas dengan senyuman. Itu pasti candaan.

Bagi Koes Plus, hati senang tak ada sangkut-pautnya dengan punya atau tak punya uang.  Rasa senang ada di dalam, uang ada di luar. Silakan, boleh setuju atau tidak, namun pecinta Koes Plus terus berteriak ceria berdendang ala Yok atau Yon Koeswojo di zaman ketenaran mereka.

Masih seputar rasa senang atau gembira. Kali ini diucapkan oleh Bupati Karawang, Cellica Nurrachadiana. “Hati gembira adalah obatnya”. Begitu jawabnya ketika ditanya oleh jurnalis TV, apa resepnya bisa sembuh dari Covid-19.

Ibu Bupati, yang dirawat 20 hari di RSUD Karawang, terus memupuk rasa gembira agar timbul optimisme, untuk meraih kesembuhan.

Lagu Koes Plus dan ungkapan ibu Bupati mempunyai nada seirama. Senang atau gembira adalah sesuatu yang “sakti mandraguna” dan tak sulit untuk mendapatkannya. Sepenuhnya bisa dikelola.

Saya menawarkan satu kosa kata lain, yang mungkin lebih “dalam”, mempunyai makna yang berdekatan, yaitu bahagia.

Sahabat saya, Arvan, Master in Happines mengutip hasil penelitian Shawn Achor (penulis buku The Happiness  Advantage). 56% persen karyawan yang berbahagia, lebih produktif dibanding yang biasa-biasa saja atau tidak bahagia.

Tak beda jauh dari Arvan, sobat muda Henry dalam bukunya Filosofi Teras (2019) menyebutkan bahwa “kebahagiaan” adalah pengendalian emosi negatif dan pengembangan kebajikan (virtue).

Cukup lengkap kesaksian tentang rasa senang, gembira atau bahagia. Koes Plus menyanyikan tentang penawar saat tak punya uang. Cellica Nurrachadiana banyak gembira agar cepat sembuh. 

Arvan mengkaitkannya  dengan produktivitas, sementara Henry menyampaikan hakikat bahagia yang mampu mengelola emosi negatif dan tumbuhnya kebajikan. Nah, masih kurang apa lagi?.

Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana caranya agar rasa itu bisa timbul? Kali ini, Dokter Parlin Susanto, seorang ahli penyakit syaraf senior, memberikan tipnya kepada saya.  Masuk akal-sehat bagi yang mau merenungkannya.

Ada empat aktivitas yang dapat menumbuhkan hormon kebahagiaan dalam tubuh manusia.

Pertama, adalah olahraga. 

Nafas terengah-engah menandakan paru-paru sedang berusaha menarik oksigen lebih banyak. Keringat keluar bercucuran seraya mengeluarkan zat-zat yang tak diperlukan. Tubuh merasa segar. Olahraga membuat exciting dan membentuk hormon Endorphins, yang melahirkan rasa bahagia.

Kedua, adalah memberi.

Memberi memunculkan hormon Serotonin. Sekiranya manfaatnya  dipahami banyak orang, dunia niscaya damai dan sejahtera. Orang berlomba-lomba memberi, karena ingin bahagia.  Ketika banyak orang bahagia, konflik mereda. Damai menjalar ke seluruh dunia. Meaningful giving makes people happy.

Ketiga, adalah berprestasi dan diakui.

Ketika seseorang berprestasi dan diakui oleh komunitasnya, muncullah hormon Dopamines. 

Prestasi  lahir dari kerja keras dan pantang menyerah (Outliers, Malcolm Gladwell, 2008).  Pencapaian digenggam, pengakuan dan penghargaan berdatangan, rasa bahagia muncul.

Frederick Herzberg menggolongkan recognition sebagai  motivator (1987). Manusia yang mempunyai motivasi tinggi biasanya memancarkan rasa bahagia.

Keempat, Good relationship dengan sebanyak mungkin sesama.

Ini dipicu keluarnya hormon Qxytocin. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung menjalin hubungan baik dengan sesamanya. Ahli silaturahmi dipanjangkan umurnya dan dilapangkan rezekinya.

Samar-samar, empat aktivitas itu sering terdengar dalam pesan-pesan tentang bagaimana meredakan badai Covid-19 yang sedang melanda dunia. Sebaiknya, dibuktikan saja.

Bahagia sering dikejar kesana-kemari. Acap kali dengan arah dan besaran yang keliru.  Padahal, olahraga yang cukup, memberi dengan tulus, berprestasi  hingga diapresiasi, dan menjalin hubungan baik, dapat membentuk hormon-hormon yang membuat bahagia.

Kita bisa meraihnya dengan usaha sendiri. 

Happiness is not something ready made. It comes from your own actions”. (Dalai Lama)

@pmsusbandono – 17 April 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here