Puncta 15.06.22
Rabu Biasa XI
Matius 6: 1-6.16-18
MOCHTAR Lubis, seorang jurnalis dan pendiri Kantor Berita Antara berpidato di Taman Ismail Marzuki (TIM) tanggal 6 April 1977.
Ia menyebutkan ada enam watak orang Indonesia. Pidato itu kemudian dibukukan dengan judul Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungan Jawab).
Menurutnya, watak orang Indonesia adalah:
- Munafik atau hipokrit.
- Enggan dan segan bertanggungjawab.
- Berperilaku feodal.
- Percaya takhayul.
- Arstistik.
- Berkarakter lemah.
Bisa jadi pidato itu merupakan otokritik bagi kita yang sering mengagung-agungkan diri sebagai bangsa yang religius bertenggang rasa dan ramah tamah.
Otokritik itu masih tetap relevan sampai sekarang.
Salah satu watak yang disebut adalah munafik. Apa yang diucapkan tidak sesuai dengan perilakunya sehari-hari.
Kita masih ingat beberapa kepala daerah ikut orasi dengan kesalehan berbaju agama ,namun ternyata terbukti korup dan berakhir mendekam di penjara.
“Dia ikut maki-maki korupsi, tetapi dia sendiri seorang koruptor,” tulis Mochtar Lubis.
Kita jadi ingat iklan di televisi, ada tokoh-tokoh partai yang berkata tidak pada korupsi, namun ternyata ada dusta di antara kita.
“Makan mega proyek juga mereka.”
Banyak orang memakai baju agama, tetapi mengajarkan kebencian, mengkafirkan, intoleran dan menghakimi sesama.
Banyak rumah ibadah berdiri di setiap sudut kampung, tetapi akhlak, moral dan etika tidak dibangun.
Dalam kotbah di bukit, Yesus mengingatkan agar kita jangan munafik.
“Jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka. Jika demikian kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.”
Jika memberi sedekah, jangan dipertontonkan seperti kaum munafik supaya mereka dipuji orang.
Janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu.
Dalam hidup doa pun, Yesus mengingatkan supaya jangan suka pamer-pamer melakukan doa-doa di tikungan-tikungan jalan raya agar dilihat orang banyak.
Begitu pula dalam berpuasa. “Janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa.”
Kita melakukan doa, amal dan puasa bukan untuk dipamer-pamerkan agar kelihatan saleh dan suci.
Biarlah Tuhan yang mahatahu akan menilainya. Tindakan itu bukan untuk mencari pujian manusia, tetapi untuk makin mendekatkan diri pada Tuhan.
“Tuhan yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
Marilah kita bertanya diri, apakah kita beramal, berdoa dan berpuasa demi kemuliaan Tuhan atau hanya demi mencari pujian diri sendiri?
Pagi-pagi makan bubur babi,
Dihidangkan dengan sayur.
Kalau kita mau hidup suci,
Marilah kita berlaku jujur.
Cawas, jujur pada diri sendiri…