SETELAH misa syukur seribu hari meninggalnya Johanna “Jo” Maria Pattinaja Seda di Gereja St. Stefanus, Cilandak (18/12/17) yang dipimpin oleh Mgr. Ignatius Suharyo bersama delapan imam lain, acara diteruskan di aula paroki lantai empat.
Ternyata ada satu acara spesial malam itu yaitu peluncuran buku berjudul Untaian Nilai dalam Wastra, Wastra Unggulan Koleksi Maria Pattinaja Seda.
Jo Seda selama ini dikenal publik sebagai istri Frans Seda, ibu rumah tangga yang mendukung dari belakang karier dan pengabdian panjang suaminya di pemerintahan. Ibu yang berhasil membesarkan kedua puterinya menjadi pribadi-pribadi yang berkualitas dan berintegritas berkat ketegasan, disiplin, dan keteladanan dirinya dan Frans Seda.
http://www.sesawi.net/2017/12/19/misa-seribu-hari-doakan-jo-seda-syukur-atas-iman-yang-sempurna-1/
Kolektor ‘wastra’
Rupanya, Jo Seda bukan sekedar ibu rumah tangga seperti dikenal orang-orang yang tidak dekat dengannya. Sebagian orang yang pernah bertemu langsung mungkin tahu bahwa ia penggemar kain tenun tradisional yang dikenal dengan istilah ‘wastra’.
Wastra adalah istilah Bahasa Sansekerta, artinya sehelai kain yang dibuat secara tradisional. Setiap helai wastra memiliki makna dan simbol yang sarat makna. Tetapi orang-orang yang pemerhati dan pakar wastra sangat mahfum dan kagum akan reputasi Jo Seda sebagai salah satu kolektor terbesar wastra di Indonesia.
Jo Seda, seperti disharingkan oleh putri pertamanya Ery Seda, adalah seorang yang private – memilah cermat apa konsumsi dunia luar dengan lingkungan dekatnya. Ia tidak mengumbar kehebatan koleksinya atau pun show off menunjukkan keberagaman wastra-nya pada setiap orang yang dijumpainya.
Seperti diceritakan Nessa Seda, puteri keduanya, Jo Seda hanya menunjukkan koleksi wastra-nya kepada orang yang memang memiliki ketertarikan sejati terhadap kain-kain lawas nan unik yang dimilikinya.
Alasannya sederhana, wastra dijaga kelestariannya, dirawat agar kerusakannya tidak berlanjut. Jika banyak sentuhan bisa merusak kualitas wastra tersebut. Alasan lain, berangkat dari kesederhanaan hidupnya yang tidak suka snob atau pun membanggakan harta material.
Koleksi wastra ini bermula tidak sengaja. Sebagai isteri pejabat, Jo Seda kerap mendampingi Frans Seda dalam kunjungan-kunjungan ke daerah di seluruh Indonesia. Salah satu suvenir yang sering diberikan adalah kain tenun cirikhas daerah tersebut.
Jo Seda semasa gadisnya adalah guru bahasa Perancis dan bahasa Jerman di Sekolah Ursulin. Ia tertarik mengenal lebih jauh kain-kain tersebut. Ia mulai bertanya dan mencatat dengan rapi keterangan yang digalinya dari masyarakat setempat.
Dedikasi konservasi wastra
Keindahan dan keunikan kain-kain tradisional tersebut menumbuhkan rasa cintanya. Ia mulai mengoleksi wastra dari seluruh Indonesia. Setiap kunjungan ke daerah dan keluar negeri, ia berburu kain. Tapi bukan sembarang kain, ia hanya tertarik dengan wastra yang unik dan tradisional. Menariknya lagi, ia tidak pernah mencari wastra tersebut ke toko-toko suvenir, melainkan ke pasar-pasar tradisional.
Pernah sekali waktu, ibunya justru tidak berminat mau membeli kain yang tengah dijajakan. Ibunya, kata Nessa Seda, malah tertarik sekali dan sedikit ngotot ingin membeli kain lawas yang sedang dikenakan oleh penjual. Begitu disharingkan oleh Nessa Seda.
Ibu sang penjual kain itu akhirnya setuju pulang ke rumah berganti pakaian. Kain yang tadi dipakainya akhirnya berpindah ke tangan Jo Seda.
Kecintaannya juga didasari tujuan mengamankan kekayaan bangsa supaya tidak dibawa ke negara lain. Bahkan tak segan ia membeli kain asal Indonesia yang dijual di luar negeri . “Mama ingin kekayaan budaya kita tidak hilang,” tutur Nessa.
http://www.sesawi.net/2015/03/02/40-hari-alm-ny-jo-seda-perwujudan-nyata-iman/
Jo Seda setiap hari menghabiskan beberapa jam merawat dengan penuh perhatian kain-kain koleksinya serta membuat catatan tentang asal dan teknik tiap kain tersebut. Ketekunan luar biasa ini awalnya tidak dipahami oleh kedua puterinya.
“Kami awalnya heran mama betah berjam-jam di kamar loteng tiap hari. Rupanya menangani kain-kain lawas tersebut,” ujar Nessa yang juga menceritakan pesan wasiat Jo Seda pada berbagai pembincangan agar anak-anaknya merawat kain-kain tersebut jika ia meninggal.
Satyalancana Kebudayaan
Amanah tersebut dijalankan kedua puterinya dibantu para sahabat Jo Seda yang selama puluhan tahun telah membantunya merawat koleksi wastra-nya. Adalah Sri Sintasari Iskandar alias Ibu Neneng yang mendampingi Jo Seda dan sekarang bertanggung jawab atas tim yang merawat wastra yang berjumlah sekitar 2.500 tersebut. Sri Sintasari bersama Benny Gratha juga yang menulis buku Untaian Nilai dalam Wastra.
Dedikasi panjang Jo Seda dalam konservasi wastra telah mendapat apresiasi dari pemerintah berupa penganugerahan gelar tanda kehormatan Satyalancana Kebudayaan sebagai maestro seni tradisi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 12 September 2017.
Sebelumnya, atas jasa-jasa Jo Seda sebagai pelestarian kebudayaan kain, Presiden Joko Widodo telah memberikan Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan dengan KEPPRES RI No. 68/TK/Tahun 2017 tertanggal 25 Juli 2017.
Jo Seda tidak semata peduli dengan sejarah, tradisi, keindahan dan keberagaman wastra yang perlu dilestarikan, ia juga memberikan perhatian terhadap kesejahteraan pengkriya wastra. Sebagai pendidik, ia ingin koleksinya bisa menjadi sumber pengetahuan bagi siapa pun yang mencintai dan berkeinginan mendalami wastra dan ia berharap banyak yang terinspirasi untuk melestarikannya.
Nessa memaknai kecintaan ibunya terhadap koleksi wastranya sebagai pelajaran bagaimana mencintai dan bagaimana hidup harus dijalani agar bermakna.