SETELAH sekitar 30 tahun berkecimpung di sektor ‘sekulir’ (swasta) khusunya bidang trading, saya dimintai tolong oleh seorang pastor untuk membantu mengajar agama di sebuah SMA Negeri.
Sebuah awal yang mencemaskan, karena selama itu saya tidak pernah mengajar di sekolah. Tetapi karena pernah mengajar agama di pedesaan sekitar Girisonta, juga pernah mengajar untuk kelompok katekumen –bahkan latihan berkotbah di gereja sewaktu menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di sebuah paroki, maka saya memberanikan diri untuk menerima tugas itu.
Awal mulai mengajar kira-kira hanya dua pekan sebelum ulangan umum Semester I. Mau tak maum saya memaksa diri harus segera menyiapkan soal-soal pilihan ganda untuk kelas X, XI dan XII.
Sudah ada ‘pakem’
Dasar kuper (kurang pergaulan), saya kira mengajar agama itu bisa semau gue. Mana yang menjadi issue penting berkaitan dengan perkembangan Gereja saat itu,maka ya hal itu yang harus saya ajarkan di kelas. Ternyata belajar-mengajar agama sudah punya pakem keluaran Departemen Pendidikan. Bahan ajarnya merupakan masukan dari Komisi Kateketik KWI.
Oleh staf bagian kurikulum semua guru diminta menyiapkan kisi-kisi dan soal PG untuk ulangan umum tersebut. Walaupun belum tahu apa itu Kisi-kisi, tetapi di depan para guru saya stel yakin saja, seakan-akan semua itu no problem. Baru sepulang dari sekolah saya mulai mencari teman di lingkungan yang juga menjadi guru. Kepada mereka saya tanyakan istilah-istilah dan singkatan-singkatan yang biasa digunakan dalam hal belajar–mengajar.
Tak lupa saya juga segera menghubungi KWI. Di Komisi Kateketik KWI ada Romo FX Adi Susanto SJ yang saya kenal. Kepada Romo Adi, saya minta bantuan kiriman panduan silabus dan buku-buku berkaitan dengan pelajaran Agama Katolik untuk SMA Negeri. Baru saya sadar bahwa mengajar agama katholik di sekolah itu yang terutama bukan masalah penghayatan tetapi lebih ke pengetahuan.
Masalahnya, bagaimana pengetahuan bisa menjadi penghayatan? Itu yang tidak mudah.
Puji Tuhan bahwa segalanya berjalan dengan lancar, walaupun dengan nyungsang njempalik. Saya mengalami hubungan dengan para guru cukup akrab; keinginan tahu bapak pengajar agama Islam tentang agama katolik pun dapat saya layani dengan baik tanpa prasangka. Bahkan ada guru yang mengira saya ini ahli bahasa Yunani dan Ibrani. Padahal, saya harus jujur mengakui tidak tahu sama sekali.
Bukan favorit
SMA Negeri dimana saya mengajar ini bukan sekolah unggulan. Bahkan jumlah murid yang beragama katolik sangatlah sedikit. Pada tahun kedua saya mengajar, jumlah murid katolik di kelas 10 hanya satu orang; di kelas 11 ada enam orang; sementara di kelas 12 ada dua siswi.
Karena jumlah muridnya sedikit maka pelajaran agama katolik dilakukan dalam satu kelas; satu pekan pelajaran agama dilakukan selama dua jam pelajaran, dengan materi berbeda-beda, meski materi diharapkan selesai tuntas. Yang lebih tragis lagi adalah bahwa murid-murid ini malas membaca sehingga sulit untuk memberi PR. Akhirnya saya lebih menekankan garis besarnya saja dan diperbanyak tanya-jawab. Terutama kalau mau ulangan.
Saya memberi gambaran menyeluruh kepada murid-murid tentang pelajaran yang akan diterima. Yakni, pertama: pengenalan diri dengan segala seluk-beluknya secara rinci, godaan masa kini dan dosa. Kedua, Yesus yang datang ke dunia untuk memperjuangkan Kerajaan Allah (Kitab Suci dan Tradisi). Ketiga, Gereja melanjutkan sabda dan karya Yesus. Keempat, mengamalkan cinta-kasih (Hak Asasi Manusia). Kelima, memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Keenam, bagaimana menghayati iman katolik dalam dunia nyata yakni terjun ke masyarakat sebagai orang katolik.
Setiap kali pelajaran, saya jelaskan skema besar garis-besar posisi materi itu supaya jelas rangkaian pola pikirnya. Lama-lama saya berpikir, ini sungguh tak ubahnya seperti memberikan paparan Latihan Rohani Santo Ignatius.
“Grepe-grepe’
Ada pertanyaan menarik waktu menjelaskan materi pelajaran Kelas X tentang penciptaan manusia. Terutama ketika bicara tentang seksualitas sebagai ciptaan Allah yang sifatnya baik adanya. Konkritnya, saya katakan bahwa kenikmatan itu adalah ciptaan Allah dan kodratnya memang baik adanya.
Seorang siswi kelas XI bertanya: “Pak, apakah grepe-grepe itu dosa?”
Sontan teman-teman yang ada di kelas mulau ribut semua. ”Aah…. kamu itu ya?,” seru kawan-kawan lain di kelas.
Lalu segera dijawab: “Bukan aku kok!”.
Mereka ganti mengoloknya, katanya: “Aalah…ayo ngaku saja!”.
Mendadak sontak lalu ger….semua dengan gelak ketawa. Saya mencoba menenangkan suasana, menekankan bahwa kalau kita membicarakan masalah seksualitas kita harus bersungguh-sungguh sehingga kita tidak keliru menangkap uraian yang diberikan.
Saya sendiri sebetulnya tidak tahu apa itu grepe-grepe tetapi hanya sekedar mengira-ira. Ternyata perkiraanku benar sebagaimana kata siswi yang lain; itu maksudnya rahasia-nya di obok-obok orang lain.
Telinga saya cukup panas mendengar pertanyaan itu. Bagaimana saya harus menjawabnya? Kepada anak sendiri saja tidak pernah membicarakan masalah seks, tetapi sekarang harus menjawab secara lugas pertanyaan semacam itu di depan para murid.
Puji Tuhan bahwa bacaan saya selembar lebih banyak dibanding para murid itu. Yakni, …biarlah Roh Kudus yang menyatakannya.
“Baik…sekarang kita bahas…apa sebetulnya dosa itu?”
Ada yang menjawab: “Dosa itu melanggar perintah Allah, Pak”
“Apakah kamu puas dengan jawaban itu?,” kata saya.
“Ya tidak Pak…Kita hanya pasrah saja dibilang dosa,” jawab mereka serampangan. (Bersambung)