Selasa, 26 April 2022
- Kis. 4:32-37.
- Mzm. 93:1ab.1c-2.5.
- Yoh. 3:7-15
SETIAP orang berhak membuat perubahan dalam hidupnya atau tinggal dalam kehidupan yang tengah dijalani.
Sering kali kita punya niat untuk membuat langkah pembaharuan hidup, namun kadang niat saja tidak cukup karena jalan untuk pembaruan itu tidak mudah.
Tantangan terbesar adalah menjaga niat dengan komitmen serta kesabaran untuk bergerak dalam proses pembaruan yang kadang menuntut banyak pengorbanan.
“Pastor, saya sangat malu, harus hidup seperti ini; sering mengecawakan orang-orang yang berharap padaku,” kata seorang bapak.
“Isteri dan anak-anakku pasti sangat kecewa denganku, dengan peristiwa yang terakhir, saya sampai menjadi totonan banyak umat,” ujarnya.
“Saya memang salah, karena sungguh tidak bisa mengontrol diri, hingga saya nekat pukul kaca spion mobil umat itu,” sambungnya.
“Tindakan bapak sudah di luar batas, dan sangat membahayakan serta merugikan orang lain,” sahut pastor.
“Itu tindakan kriminal dan jauh dari nilai cinta kasih,” sambungnya.
“Saya sudah berusaha menekan emosi supaya tidak brangasan dan mudah menyerang orang lain, tetapi saya gagal,” jawab bapak itu.
“Saya sungguh bersalah, bahkan telah mencoreng wajah Gereja karena ribut di kompleks Gereja,” lanjutnya.
“Untungnya orang yang berurusan dengan bapak bersikap arif dan tidak menanggapi amarah bapak,” sahut pastor.
“Yang membuat saya malu dan sangat menyesal, karena sama sekali tidak melayani amarahku, bahkan dia tidak bereaksi yang berlebihan, dia kalem dan menganggap tidak ada masalah,” kata bapak itu.
“Sikap umat tenang dan kalem serta tidak melawan seperti itu yang lebih terasa menyentak perasaan dan jiwaku dari pada pukulan ke wajah saya,” lanjutnya.
“Sikap bapak itu menyadarkan saya bahwa ada cara hidup yang lama tidak saya jalani yakni hidup tanpa kekerasan, tanpa amarah yang meluap-luap. Hidup dengan kasih dan pengampunan,” tegasnya.
“Semoga ini yang terakhir terjadi dalam hidupku,” tegasnya lagi.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian,
“Janganlah engkau heran, karena Aku berkata kepadamu: Kamu harus dilahirkan kembali.
Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh .”
Seringkali kita mengatasi permaslahan hanya berdasar pada nalar, dan perasaan serta insting hingga muncul tindakan-tindakan yang justeru mengakibatkan penyesalan.
Sekaan ada bagian yang hilang dan sering kita tinggalkan yakni mempertimbangkan segala sesuti dalam batin, dalam hati.
Bahkan dalam usaha kita membangun kesejahteraan bersama sebagai anggota masyarakat masih perlu dilengkapi dengan usaha memenuhi kesejahteraan rohani dalam kebersamaan iman yang berpangkal dalam olah batin.
Dengan kata lain, kita perlu lahir kembali menjadi orang yang berani mengutamakan sikap lembut penuh cinta sebagai produk dari kedalaman hati bukan asal bertindak.
Sikap yang tulus dari hati akan menenteramkan dan membahwa sukacita batin yang sangat dalam bahkan kepada orang lain.
Bagimana dengan diriku?
Apakah aku cukup mengolah dalam hati segala kata dan sikapku pada Tuhan dan sesama?