KALAU, misalnya, harus merintis karya awal yang sifatnya berkolaborasi dengan kaum awam Katolik di Indonesia, lalu dengan siapa Ordo Serikat Yesus Provinsi Indonesia (Provindo) ini mesti mengawali langkah pertama untuk mengisi program bersama kolaboratif itu?
Itu adalah pertanyaan pancingan Romo Leo Agung Sardi SJ sebelum memulai Retret Bimbingan Pengolahan Diri Sesawi yang dia ampu di Rumah Doa St. Maria Guadalupe, Jakarta, 23-25 Maret 2018 ini.
Yang mau dikatakan sebenarnya adalah kisah latar belakang historis mengapa dirinya sampai melakukan program retret bimbingan selama tiga hari (triduum) untuk para anggota Sesawi itu.
Demikian ini kisahnya.
Romo Leo Agung Sardi SJ, alumnus Seminari Mertoyudan angkatan tahun masuk 1982 dan mantan magister novis calon SJ di Girisonta, mengaku mengenal pertama kali istilah ‘Sesawi’ sejak tahun 2000-an, ketika perkumpulan Sahabat Sesama Warga Ignatian ini (dan bukan ‘biji sesawi’ atau ‘benih sesawi’) mulai pertama kali muncul di tahun-tahun pertamanya.
Romo Ignatius Haryoto SJ
Sesawi muncul sebagai respon atas desakan alm. Romo Ignatius Haryoto SJ–mantan magister novis SJ sangat kharismatis—yang menghendaki para alumni GS (Girisonta) itu sebaiknya masih saling berkomunikasi dan saling meneguhkan sesuai ‘karya’ mereka masing-masing sebagai awam Katolik.
Irwan Setiabudi, alumnus GS tahun 1981- merintis berdirinya Sesawi dengan awalnya kegiatan kumpul-kumpul bersama teman-teman angkatannya dan kemudian mulai ‘melembaga’ setelah beberapa kali ‘embrio Sesawi’ ini bertemu dengan almarhum Romo Ignatius Haryoto SJ.
Mengapa almarhum Romo Ignatius Haryoto SJ sedemikian ‘membekas’ di hati banyak alumni Novisiat SJ Girisonta?
Tentu jawabannya akan beragam. Namun, para mantan SJ hasil didikan almarhum biasanya akan mengatakan beberapa hal yang sama: model didikannya sangat ‘spartan’ (rigid, tegas, rigorous), disiplin diri ketat, dan tidak segan-segan menjadikan para novis itu mampu bekerja fisik ‘secara rodi’ di lapangan.
Itu antara lain sebagai berikut:
- Para novis SJ waktu itu harus bisa mengikir batu besar dan melukis permukaan batu dengan aneka gambar ikon SJ.
- Para novis harus bisa meratakan lapangan sepak bola hanya bermodalkan cangkul (bukan buldozer dan aneka alat berat lainnya).
- Para novis harus bisa mengangkut batu-batu besar dari dataran rendah hanya dengan kekuatan tenaga manusia.
- Belum layak disebut ‘novis SJ’ sejati dan ‘lulus’ pendidikan calon Jesuit, kalau belum berhasil naik Gunung Ungaran, berhasil tiba sampai di puncak gunung, dan bisa berhasil tiba selamat dan sehat ke Novisiat SJ.
- Dan masih banyak lagi.
“Saudara terdekat”
Sesawi bagi Romo Leo Agung Sardi SJ layak disebut sebagai teman dan saudara terdekat para Jesuit Provindo.
Bukan karena sama-sama ‘orang Indonesia’, melainkan karena para anggota Sesawi itu –sama seperti para Jesuit lainnya—juga pernah mengalami tahapan formatio dengan protokol dan program pembinaan yang sama. Entah itu di Novisiat SJ Girisonta, Kolese Hermanum – STF Driyarkara Jakarta, dan Kolese St. Ignatius (Kolsani) Yogyakarta.
Dan yang paling fundamental, demikian kata Romo LA Sardi SJ, semua anggota Sesawi dan SJ itu sama-sama pernah mengalami Retret Agung Latihan Rohani 30 hari di Novisiat SJ Girisonta.
“Itulah yang menyatukan kita sebagai ‘saudara’ dan teman dekat,” ungkap doktor ahli Spiritualitas Ignatian (Spiritualitas Yesuit) ini di awal Retret Bimbingan Pengolahan Diri untuk Sesawi di Jakarta, 23-25 Maret 2018.
Karena itu, Romo Leo Agung Sardi SJ lalu menyediakan diri waktu khusus selama tiga hari di awal Pekan Suci 2018 untuk Sesawi.
Untuk Nostri
Setelah selesai tugas sebagai magister novis calon SJ di Girisonta, Romo Leo Agung Sardi SJ ditugasi belajar Spiritualitas Yesuit oleh Provinsial SJ waktu itu –Romo Rio Mursanto SJ—di Spanyol dan akhirnya lulus dengan predikat doktor di Negeri Matador ini. Usai studi, pastor asal Paroki Klepu DIY ini dibenum (ditugaskan) di Kolese St. Ignatius (Kolsani) Yogyakarta sebagai spiritualis dan sekaligus promotor Spiritualitas Ignatian bagi para Jesuit Provinsi Indonesia melalui program retret bimbingan untuk para Jesuit Indonesia.
Ia mengaku ‘tutup mata’ dan langsung mengiyakan setiap kali ditugaskan Provindo untuk program-program formatio untuk kalangan internal. Dan karena waktunya sudah sangat tersita untuk menyiapkan materi program-program bimbingan dan pembinaan untuk Nostri ini, Romo Sardi merasa ‘tidak terkutik’ lagi untuk menyediakan waktu lagi guna keperluan yang sama untuk para religius lain.
Ketika ajakan ditawarkan oleh Winoto Doeriat akan program pembinaan bagi Sesawi, Romo Leo Sardi mengaku tak bisa menolaknya. Apalagi secara khusus Provinsial SJ menugaskannya untuk merespon ajakan itu.
Nah, program Retret Bimbingan Pengolahan Diri untuk Sesawi berbekal buku “Spiritualitas Yesuit dalam Keseharian” selama tiga hari ini terjadi dalam konteks menciptakan kondisi untuk kerja kolaborasi antara SJ dan kaum awam Katolik yang kebetulan mantan SJ. (Bersambung)