Home BERITA Sesuatu yang Sakti Bernama “Kompetensi”

Sesuatu yang Sakti Bernama “Kompetensi”

0
Ilustrasi: Para suster lintas tarekat belajar bersama untuk meningkatkan kompetensi masing-masing sebagai guru di tempat di mana mereka berkarya sebagai tenaga guru di TK.

INI cerita, terutama untuk para pejuang kompetensi.

Ada dua sahabat yang diam-diam menjadi guru, penuntun-ilmu bagi saya. Mereka adalah Arbono Lasmahadi dan Yunus Triyonggo.

Keduanya menjadi penunjuk arah bila saya kebingungan atau ketinggalan pemahaman. Apalagi kalau bukan soal Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Lebih khusus lagi yang berkenaan dengan “pengembangan kompetensi”.

Arbono teman kuliah sekian puluh tahun lampau.  Terkenal ulet, pekerja keras dan gemar belajar.  Satu hal yang disukai banyak teman adalah kegemarannya membagi ilmu.

Kadang artikel ringan, jurnal nasional dan internasional atau materi presentasi karyanya disebarkan melalui medsos. Singkatnya, sahabat-sahabat seprofesi nyaman mengunyah ilmu yang dibagi-bagikannya.

Yunus sama-sama piawainya. Ia dikenal sebagai pelopor dan pemimpin sebuah organisasi berlabel “Gerakan Nasional Indonesia Kompeten”. Anggotanya ratusan atau ribuan, dari seluruh Indonesia. Saya ikut berada di dalamnya.

Kiprahnya sering saya ikuti dari jauh, mungkin tanpa dia sadari. Maklum, kesibukannya yang menggunung mempersulit geraknya meluangkan waktu untuk sekedar berbincang ringan dengan saya.

Dua pekan lalu, Arbono mengirim sebuah jurnal internasional melalui sebuah grup WA.  Judulnya menggelitik bagi saya yang sering ketinggalan kereta, Spiritual and Religious Competencies for Psychologist.

Saya membaca 2-3 kali, tak juga bisa mengerti seutuhnya.

Tapi ada satu hal yang membuat saya terjaga.

Ternyata “kompetensi” seseorang tak mengenal batas. Pemahaman yang selama ini saya pegang keliru. 

“Spiritual dan religius” juga sesuatu yang berdimensi “kompetensi”. Orang perlu mempelajari dan meningkatkan kemampuannya di bidang-bidang ini, agar lebih komplet.

Dengan nada lain, dapat disebutkan bahwa “kompetensi” di era revolusi teknologi seperti saat ini, tidak lagi terbatas  pada “kompetensi inti” seperti yang dirumuskan secara sederhana oleh CK Prahalad and Gary Hamel pada tahun 1990 lalu, di artikel The Core Competence of the Corporation.

Yunus sedikit berbeda. Ia membuat kanal YouTube, juga dengan tema “kompetensi”.

Pekan lalu, ia membagikan videonya yang bernas. Judulnya menarik: Belajar Kompetansi dari Mas Yanto Pengamen Andal.

Di akhir video yang berdurasi hampir delapan menit itu, Yunus mengulas mengapa Mas Yanto berhasil menjadi pengamen piawai. Lagu-lagunya tak berbatas daerah atau negara, kocokan gitarnya manis didengar dan sikapnya santun.

Benang merah dari jurnal kiriman Arbono dan video karya Yunus sejatinya sama. Yunus, dalam kesempatan lain, menyebutkan bahwa kompetensi soft skill mulai menyita perhatian para pengelola SDM dan menjadi lebih dominan dibanding hard skill.

Dalam diri Mas Yanto, “tata-krama” menjadi kata kunci. Selain itu, lengkapi dengan pengembangan kompetensi spiritual dan religius, seperti jurnal yang dikirim Arbono, biar lebih afdol.

Perbincangan akan seru, bila kutub di atas dihadapkan dikhotomis dengan pendapat yang menganggap pengembangan kompetensi lebih berat pada teknikal, administratif dan hard skill. Kompetensi sangat penting, bahkan semakin sakti. Tetapi content-nya bergeser ke sana-kemari. Waspadalah.

Tiba-tiba saya teringat seorang teman yang menulis di laman medsos tentang profesi yang paling sulit di dunia yang serba digital dan cepat seperti saat ini, yaitu guru. Tentunya termasuk dosen, pelatih, tutor, dan fasilitator.

Tapi mengapa paling sulit?.

Tak lain karena kini “anak-didik” bisa mendapatkan pengetahuan teknis, administratif dan hard skill dengan sangat mudah.

Bila pagi ini seorang guru menerangkan suatu topik materi, sorenya sang siswa bisa mendapatkan bahan yang sama dengan hanya satu klik jari. Bisa jadi, levelnya lebih dalam dan tinggi dibanding apa yang diajarkan oleh guru.

Keadaan yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi 20 atau 10 tahun lampau. Dulu, penyerapan informasi masih serba sulit.

Di situlah kuncinya.

Mungkin itu yang dimaksud Yunus mengapa kompetensi soft skill semakin dominan.

Mas Yanto sukses menjadi pengamen yang andal dengan memperhatikan “tata krama”, sementara “budi pekerti”, yang dulu saya serap melalui mata pelajaran utama di SD dan SMP, konon saat ini sudah dihapus.

Arbono, Yunus dan Mas Yanto mengirim pesan sederhana kepada saya. 

Saya simak sarinya, agar lebih terbuka dan bahagia.

“Bukalah matamu, kembangkan mindset-mu, perluas wacanamu. Jangan batasi bacaanmu. Pengetahuan  tak berbatas. Kompetensi tak berpagar.

Kembangkan anak-didik, anak-buah dan anak kandungmu, seluas-luasnya, setinggi-tingginya, sedalam-dalamnya agar punya mental kerja keras, pantang menyerah dan siap untuk beruntung.” (Malcolm Gladwell, jurnalis The New York Times, Outliers, Penguin Psychology Books, 2008)

@pmsusbandono

26 Maret 2022  

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version