“Setan Selalu Ada di Saku Kita”

0
95 views
Paus Fransiskus ke Indonesia. (Tribune News)

.

BANYAK teman menanyakan mengapa saya tak menulis komentar tentang kedatangan Paus di Indonesia.

Agak berat untuk memulainya. Tak mudah menyusunnya.

Begitu banyak berita dan ulasan tentang tokoh Paus, sang media darling, yang dimuat di media sosial, media kaca atau media massa, dengan gegap gempita. Lubang sekecil apa pun, perihal Paus, sudah buntet (tertutup) untuk diliput.

Namun, pesan Paus di depan 1.200 biarawan-biarawati di Gereja Katedral yang menjadi judul artikel ini, sayang untuk didiamkan. Ia membuat banyak orang tertegun.

Sebagian bertanya-tanya maksudnya. Sebagian lain mendiamkan, karena tak berhasil mengupasnya, dan sebagian lagi mencoba mengartikan maknanya dengan pemahamannya sendiri. Saya termasuk yang terakhir.

Artikel ini terutama untuk kepentingan saya agar terus mengingat pesan Paus di atas. Buat teman lain, yang juga dapat memetik faedahnya, silakan saja. Puji Tuhan.

Butuh waktu lama untuk mencerna kalimat itu. Refleks, saya rogoh saku celana dan kemeja saya.

Tak ada “setan” di sana. Tak ada gendruwo, drakula, wewe gombel, pocong atau “setan”, dalam bentuk apa pun, yang menakutkan.

Termenung memikirkan apa sejatinya makna yang ada di balik kalimat itu. Kemudian sampai pada pemahaman bahwa Paus bermaksud mengingatkan kita tentang sesuatu yang selalu berada di dekat, bahkan di dalam diri manusia, yang selalu mengancam serta membahayakan hidup kita.

“Setan” dapat berbentuk kekuasaan, feodalisme, kekayaan, mumpungisme, posisi, kepandaian, popularitas, kekhawatiran, ketakutan, egoisme dan kepentingan keluarga kita.

Masih banyak bentuk “setan” yang bersembunyi atau bahkan kadang terang-terangan berada di dalam “saku” kita.

Celakanya, sulit untuk mengenali “setan-setan” itu. Dia menyelinap dalam berbagai dalih yang seolah bermanfaat bagi manusia bahkan dunia, tapi sejatinya menghancurkannya. “Cinta diri” yang “overdosis” merupakan pusat dan tempatnya paling nyaman untuk bersemayam.

“Yang membuat dunia maju bukanlah (kalkulasi) kepentingan pribadi, yang umumnya berujung pada kerusakan ciptaan-Nya dan perpecahan umat manusia” (Paus Fransiskus, Katedral Jakarta, Rabu, 4 September 2024).

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa pesan-pesan Paus, termasuk “setan yang bermukim di saku”, begitu efektif menyeruak ke dalam hati kita.

“Keteladanan” menjadi kata kunci.

Paus tidak hanya bicara dengan lisannya, tapi terlebih dengan sikap dan perilakunya yang tulus dan genuine (apa adanya).

Satunya kata dengan perbuatan menjadi pegangannya. Ucapannya tidak “molah malih”, konsisten dan konsekuen. “Iman” menjadi pegangannya, “Persaudaraan” menjadi sikapnya dan “BelaRasa” menjadi tindakannya sehari-hari.

Walk the talk– Don’t talk the talk unless you can walk the walk”.

Sekali lagi, pesan Paus mengingatkan umat manusia untuk selalu waspada, hati-hati dan siap sedia. Godaan dan gangguan (“setan”) berada “sangat dekat”, bahkan ada dalam diri kita. Sewaktu-waktu bisa muncul tanpa atau dengan kita sadari.

Tokoh seperti ini pas untuk menjadi ”role model”. Panutan yang mampu membangun budaya. Kata-kata tanpa keteladanan berakhir sia-sia, tak ada gaung dan gunanya.

Terima kasih Bapa Suci, Sri Paus. Kehadiranmu di Indonesia telah mengajar kami dengan kata-kata dan (moga-moga) membentuk watak kami dengan keteladanan.

Verba docent, Exempla trahunt” (Kata-kata mengajar, keteladanan mempesona dan mengikat) – Peribahasa Latin.

@pmsusbandono
9 September 2024

Baca juga: Paraban jadi sensi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here