Sesama pasien kanker itu saling menguatkan hati. Yang lebih menakjubkan, mereka berusaha “menghidupkan” orang-orang sehat di sekitarnya.
Jantungku berdegup kencang tatkala membuka sebuah gulungan kertas koran. Dengan sangat hati-hati kubuka lembar demi lembar kertas itu. Bukan takut tulisannya terobek, tetapi benda yang ada di dalamnya harus kusentuh pelan-pelan. Takut ikut terkelupas. Biasa saja barang itu. Cuma setangkai mawar berwarna pink. Tapi ini bunga pesanan Isna, tamu istimewa di hatiku.
Siapa Isna? Ya, dia adalah Isnaeni, gadis cilik umur 6,5 tahun. Ayahnya kuli bangunan. Anak ini menderita leukemia jenis ALL-HR (Acute Lymphoblastic Leukemia-High Risk). Di akhir hidupnya, tim dokter dari Divisi Hematologi-Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) angkat tangan. Tak ada lagi obat yang bisa menyembuhkannya.
Akhirnya Isna hanya dirawat di rumahnya di Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tentu dengan dibekali obat-obatan anti rasa nyeri. Awalnya dulu, dia berobat di Rumah Sakit Pasar Rebo awal Januari 2009, kemudian dirawat di Rumah Sakit Budi Asih, lalu dirujuk ke RSCM.
Saat memesan mawar itu, Isna masih dirawat di RSCM, Desember 2011. Dia ingin memberikan untuk tamu spesialnya yang datang khusus dari Perth, Australia Barat, James B Lumenta. Di usianya yang ke-72 tahun dan menderita kanker liver, James sangat antusias mengunjungi Isna yang dirawat dengan fasilitas keluarga miskin (Gakin).
Pertemuan itu memang terasa istimewa dan sangat ditunggu oleh James dan Isna. Jauh hari James sudah menyiapkan oleh-oleh dari Perth. Ada cokelat, topi rajut, dan boneka. Sementara Isna menyiapkan setangkai mawar. Tak ada yang menyuruh. Anak yang belum sempat masuk kelas I sekolah dasar (SD) ini spontan ingin memberi mawar.
“Isna pengen mawar pink buat Engkong JBL. Tapi di rumah sakit enggak ada mawar, ya?” katanya sambil tertawa, beberapa hari sebelum pertemuan itu. Engkong JBL adalah sebutan Isna untuk James B Lumenta. Sore itu tiba-tiba saja Isna terpikir mawar pink ketika mewarnai gambar kembang-kembang di bukunya.
Aku yang merasakan “letupan” Isna, langsung membelikan mawar itu. Dan… jadilah, setangkai mawar diberikan Isna buat “Engkongnya”.
Mengantar sampai Akhir
James dan Isna. Dua orang yang sedang bergelut melawan kanker yang menggerogoti tubuh mereka ini saling menghibur dan menguatkan. Padahal sekitar lima bulan lalu mereka belum saling kenal. Dua insan ini pun bagaikan bumi dan langit. Isna anak seorang kuli bangunan yang penghasilan rata-ratanya per hari Rp 40.000. James adalah pengacara bidang hak kekayaan intelektual (HKI) dengan domisili di Perth.
Secara kebetulan mereka “dipertemukan” oleh tetangga Isna, bernama Sari, yang sedang mencarikan bantuan buat pengobatan Isna. Biaya kanker yang sangat tinggi jelas tak terjangkau untuk seorang Isna. Sementara James, sedang “menunggu kiriman” pasien kanker miskin dari Tuhan yang bisa dibantunya.
James memang kini mengabdikan diri di bidang kemanusiaan melalui Yayasan Pelayanan Kasih (YPK), dengan organ di bawahnya Crisis Center Yayasan Pelayanan Kasih (CCYPK), yang khusus mendampingi pasien kanker dari keluarga tak mampu, serta Balai Pengobatan Umum (BPU) yang melayani pengobatan murah bagi masyarakat sekitar Kelurahan Cisarua, Bogor.
Obsesi James menyisihkan sebagian hartanya untuk kemanusiaan itu muncul sejak dia divonis menderita kanker pada 1997.
Selain merogoh kocek pribadi untuk menolong pasien-pasien kanker dari keluarga miskin, James juga menggaet beberapa relasinya supaya ikut merasakan kepenuhan hidup setelah memberikan tali kasih kepada sesama yang membutuhkan.
Ternyata niat baik yang ditanam James membuahkan kebaikan pula. James yang sedang mengalami depresi dan frustrasi menghadapi penyakitnya, mendapat “obat” si kecil Isna. Begitu juga Isna, ketika sel kankernya menyebar tak terkendali di tubuhnya, ia memperoleh “obat” Engkong JBL.
Di luar dugaan James, ternyata Isna suka bercanda, melucu, ceplas-ceplos, dan cerdas. Spontanitas dan kelucuannya mendatangkan kegembiraan bagi James yang memiliki jiwa keras dan disiplin tinggi.
“Cokelat dari Engkong dihabisin Bapak,” kata Isna spontan. Bibirnya jadi makin manyun. Tentu saja James tertawa dibuatnya. “Mama juga. Isna di rumah sakit, mama yang gemuk,” gerutu Isna. Maklum, setiap usai kemoterapi Isna tidak doyan makan. Lidahnya mati rasa, mulutnya sariawan. Maka dilahaplah jatah makannya dari rumah sakit oleh sang ibu.
Isna juga suka bernyanyi sambil jingkrak-jingkrak, membuat semua orang termasuk para dokter dan perawat tertawa gembira. Pernah suatu kali dia menyanyikan lagu buat James lewat telepon genggam. Ku tak percaya kau ada di sini/Menemaniku di saat dia pergi/Sungguh bahagia kau ada di sini/Menghapus semua sakit yang kurasa/Mungkinkah kau merasakan/Semua yang ku pasrahkan/Kenanglah kasih.
Mendengar suara anak kecil menyanyikan lagu Vierra “Rasa Ini”, James tak bisa menyembunyikan tawanya. Tawa lepas yang “langka” bagi seorang James B Lumenta yang detailis dan sangat serius.
Aku sendiri tak pernah menyangka bahwa ikatan emosi di antara kedua insan ini saling menguatkan. Pernah suatu kali Isna menulis “surat” di buku tulisnya. “Engkong JBL pergi ke Bali, ajak Isna dong.” Kalimat ini mengungkapkan betapa Isna mendambakan seorang figur pengayom. Dan memang, apa pun yang dimintanya dikabulkan oleh James.
Ingin handphone dibelikan dengan fitur lengkap, mau video portable dibelikan di Australia, minta film anak-anak pun dibelikan semua.
Saat tulisan ini kususun, Jumat 3 Februari sekitar pukul 20.00, Isna “pulang” ke rumahnya yang kekal. Dia pergi dengan tenang, nyaman, tanpa mengeluh kesakitan. Hanya saja ia sempat sesak napas.
Mendapat kabar ini, James menulis lewat BlackBerry: “Our times are in God’s hand, how could we wish or ask more? For He who has our pathway planned, will guide us till our journey is over… (Waktu kita berada di tangan Tuhan, bagaimana mungkin kita berharap atau meminta lebih banyak? Dia yang telah merencanakan jalan kita, akan membimbing kita sampai akhir perjalanan…”
Keterangan Foto: TANDA KASIH – Isnaeni (6,5) memberikan setangkai mawar pink kepada James B Lumenta (72) pada Desember 2011 ketika Isnaeni sedang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSM), Jakarta (Foto: Wahyu Dramastuti).