SEJENAK tatapanku terfokus pada pramugari itu. Dara manis ini sedang memeragakan prosedur standar keamanan dalam kondisi darurat. Sebagian penumpang di sebuah pesawat meresponnya tak acuh.
Atensiku membuncah, namun bukan karena paras pramugari yang menawan atau postur badannya yang sangat ideal. Yang menjadi perhatianku justru persoalan “kesetiaan”. Sejenak, hatiku dibuat kagum oleh “kesetiaan” pramugari memeragakan standar prosedur keamanan bila tiba-tiba kondisi darurat terjadi di kabin pesawat. Hal seperti itu tentu saja mereka lakukan setiap kali melakukan perjalanan terbang. Dan reaksi para penumpang pun sungguh tak acuh….Cueklah.
Kesetiaan
Kejenuhan sangat mungkin bisa menjadi “santapan” sehari-hari para pramugari. Ketika mereka memeragakan prosedur keamanan, cuek dan masa bodoh yang mereka terima. Ketika melayani para penumpang dengan makan-minum, ada-ada saja penumpang yang minta “perlakuan khusus”. Dan toh, mereka masih suka menebar senyum kepada penumpang, tak mempedulikan siapa mereka ini.
Persis di situ, rasa hormat dan decak kekaguman saya membuncah. Di dalam kabin pesawat itulah, saya merasa tertantang merefleksikan tema penting namun sering terlupakan, yakni kesetiaan pada tugas. Dan pemandangan di depan mata di dalam kabin pesawat itu membuatku sadar, kesetiaan adalah soal penting dalam kehidupan bersama ini.
Kesetiaan pramugari itu membuatku haru. Betapa seringnya kesetiaan itu telah “hilang” dari cara bertindakku sehari-hari. Keteguhan hati terus melayani tak jarang telah lenyap oleh intensifnya jumlah kebutuhan harian, bulanan, bahkan tahunan. Dalam suasana kebatinan seperti itu, naluri imanku ikut bergejolak.
Tanpa sadar, rasa keimananku mengalir: saya mulai mendaraskan rumus-rumus doa. Hanya saja terjadi crash dalam nuraniku. Rasanya di dalam batok kepalaku ada dua “suara” menderu-deru menyesaki otakku. Otak kiri omong ini, sementara otak kanan bicara hal lain lagi. Pokoknya, membuatku lelah…
Ketika perhatianku terantuk pada sebuah ajakan agar melayani dengan kerendahan hati, tiba-tiba saya teringat pada perkataan Mgr. Suharyo yang waktu itu masih Uskup Koajutor di Keuskupan Agung Jakarta. Kata beliau: Serviens Domino Cum Omni Humilitate yang artinya Melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati (Bdk. Kis 20 : 19). Perkataan monsinyur ini begitu bergaung keras di dalam sanubariku hingga selama penerbangan selama 45 menit di langit yang kurang cerah itu membuat terus terjaga.
10 tahun silam
Sejenak saya terlelap. Ketika mataku terbuka, tiba-tiba ada dorongan hati mengingat kembali apa yang pernah terjadi 10 tahun silam. Saat itu, saya aktif menjadi seorang pendamping di sebuah tempat pelayanan sosial untuk anak-anak marjinal di Semarang, Jawa Tengah. Di situ ada pengalaman suka, duka, ceria, jengkel, sebel yang mengharu biru saya dan teman-teman aktivis.
Saya masuk kelompok jaringan kegiatan sosial ini mulai tahun 1999 dan setelah enam tahun berkutat di lingkungan pelayanan sosial itu, saya akhirnya memutuskan tidak aktif lagi sejak tahun 2005. Alasan saya masuk akal: saya ingin bertolak ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah untuk memulai sesuatu yang baru dalam hidupku.
Photo credit: Mathias Hariyadi