ANGELICA Caca, begitulah identitas nama lengkapnya. Ia adalah anak bungsu dari pasangan orangtua Kristiani, namun masing-masing memiliki komunitas Gerejanya sendiri-sendiri alias sama-sama Kristiani tapi “Gerejanya” berbeda.
Ayah kandung Caca bernama Benediktus, sementara ibu kandungnya biasa dipanggil Emilia. Caca adalah nama panggilannya sehari-hari.
Suatu hari, kedua orangtua Caca memutuskan pindah rumah. Mereka meninggalkan desa ke kota. Saat terjadi boyongan keluarga pindah rumah itu, Caca baru saja masuk kelas 2 SD.
Rumah baru keluarga muda itu tidak jauh dari sebuah lokasi di mana sebuah gereja Katolik berada. Di sekeliling rumahnya juga ada kompleks biara susteran, asrama pendidikan, dan sekolah binaan para suster.
Setiap sore, Caca kecil sering main di halaman yang terletak di depan gereja. Karena baru saja pindah di situ, ia belum punya teman di kompleks rumah barunya.
“Caca bosan tinggal di sini, karena tidak punya teman,” begitu keluh Caca sekali waktu kepada ibunya.
“Ayo kita kembali ke kampung saja Bu. Caca mulai bosan di sini. Lagi pula, ibu dan ayah juga sering pergi tinggalkan Caca dan kakak sendirian di rumah. Mengapa kita harus pindah ke kota seperti ini Bu?,” begitu keluhnya.
“Caca, sayang. Ibu dan ayah telah membeli rumah di tempat ini, supaya kamu bisa sekolah. Di kampung, nanti kamu hanya bisa menempuh sekolah dasar sampai kelas 2 saja. Memangnya kamu mau nantinya tidak sekolah?,” jawab ibunya.
“Tinggal di kampung dan setiap kali pergi ke kebun tiap hari, kamu mau digigit nyamuk Kamu bilang, kamu tidak suka ke kebun, karena di sana banyak nyamuknya. Mengapa sekarang Caca mau kembali ke kampung?,” sambung ibunya lagi.
“Ibu, Caca sedih di sini. Caca tidak punya teman. Teman-teman tidak ada yang kenal Caca. Kalau di kampung banyak yang kenal aku. Di mana Caca bisa bermain, biar bisa segera mendapatkan teman?,” sergahnya.
“Caca, duduk sini dekat ayah. Sekarang ayah mau kasih tahu di mana ada banyak teman itu. Nah, Caca mau tidak dikasih tahu itu ada di mana?,” tanya ayahnya.
“Mau ayah, Caca sangat mau,” jawab Caca sangat gembira sehingga ia mulai beranjak dari tempat duduknya dan kemudian berpindah duduk di samping ayahnya.
Caca menjadi bersemangat, ketika mengetahui di halaman gereja ternyata ada banyak anak sebayanya dan hal itulah yang ingin dia dengar dari ayahnya.
“Itu di mana ayah?,” tanya Caca dengan manja sembari ‘merayu’ ayahnya agar segera mau buka suara memberi informasi.
“Bukankah kamu setiap hari sudah ke sana? Apa kamu belum pernah bertemu mereka?,” kata ayah.
“Di mana sih itu Ayah?,” tanya Caca. “Di Gereja Katolik itukah?,” tanyanya lagi.
“Iya sayang, betul di situ,” kata sang ayah.
“Caca ‘kan sudah sering ke sana,” sergahnya.
“Kalau kamu sering ke sana seharusnya kamu bertemu mereka dong,” jawab sang ayah.
“Ayah… Caca tidak pernah bertemu orang di sana. Caca hanya sering mendengar suara anak-anak tengah bermain di dalam bangunan gedung tua itu. Tapi Caca takut mau ke sana. Caca ‘kan tidak kenal mereka. Sebenarnya, Caca juga kepengin bisa main bersama mereka, tapi… Caca malu,” begitu pengakuan Caca.
“Kenapa harus malu? Kan kamu ingin bermain bersama mereka? Katanya mau punya teman, kok malu sih?,” tanya ayah.
“Iyalah ayah. Nanti Caca akan ke sana,” jawab Caca.
Karena rasa penasaran tinggi yang kini Caca rasakan, maka pada suatu sore Caca lalu memberanikan diri mengintipdari balik pintu untuk melihat serombongan anak yang setiap hari dia dengar suka bermain di dalam ‘gedung tua’ itu.
Ternyata anak-anak yang selama ini dia dengarkan suaranya itu adalah serombongan anak yang tengah berlatih misdinar dan anak-anak anggota BIA(Bina Iman Anak).
Sore itu, Caca langsung memberanikan diri ikut bergabung dengan anak-anak BIA itu dan mulai berkenalan dengan mereka.
“Halo, boleh bergabung tidak? Saya anak baru di sini. Rumah saya di depan kantor UPT itu,” katanya memulai percakapan.
“Oh iya boleh,” jawab satu anak. “Namamu siapa?,” tanya si anak.
“Saya Caca.”
“Kamu, namamu siapa?”
“Saya Vina dan ini adik saya Gia.”
“Caca, rumahmu yang baru itu ya?”
“Iya.”
“Rumah saya di samping rumahmu. Kita malah tetanggaan. Hanya saja saya tidak pernah main di luar, karena di luaran itu sudah masuk jalan raya dan tidak ada halaman. Jadi kami main di dalam. Nanti kamu boleh kok main di rumah saya.”
“Horeee terima kasih ya, Vina. Saya senang banget. Nanti saya bilang ayah-ibu saya.”
Sore itu, setelah ke gereja, Caca muai berkenalan dengan teman barunya. (Berlanjut)