Setia-Mu Jadi Tantanganku: Inilah Perjalanan Panggilanku Jadi Suster Biarawati (3)

0
1,178 views
Ilustrasi: Para suster OSA menelungkup diri di hadapan altar Kapel Susteran Biara OSA Ketapang sebelum mengucapkan kaul-kaulnya di hadapan Mgr. Pius Riana Prapdi,18 Juli 2018. (Dok. Kongregasi OSA)

AKHIRNYA, cita-cita itu hanya bisa dia pendam dalam-dalam sendiri dan niatan itu sering dia bawa dalam doa.

Pada tahun 2012, tepat pada Minggu Panggilan, Caca sengaja melambungkan rumus berdoa ke pada Tuhan berikut ini.

“Saya ingin menjadi seorang suster biarawati, tapi apa dayaku ketika ibu tegas melarangku mewujudkan niatan itu. Ibu tidak mau mengerti apa itu suster birawati. Tolonglah aku ya Tuhan, bantu saya agar ibuku mau mengerti niatku ini.”

Pada hari Minggu itu, Caca sungguh bergumul dalam hatinya merenung-renungkan bisikan panggilannya ingin menjadi suster biarawati. Termasuk di situ kisruh batinnya ketika mendapati ibunya melarang keras mewujudkan niatnya menjadi suster biarawati.

Entah kekuatan dan dorongan mana, tiba-tiba saja Caca merasa ‘diberanikan’ oleh Tuhan dan mulai memberanikan diri bicara dan menghadap ibunya.

“Ibu, saya ingin menjadi suster,” kata Caca di tahun 2012.

“Apa? Kamu tetap ingin menjadi suster? Bukankah kamu sebentar lagi akan kuliah dan ambil jurusan kesehatan? Bukankah kamu sudah siap kuliah? Mengapa lalu ingin menjadi suster? Mengapa? Ibu tetap tidak setuju. Kamu harus tetap melanjutkan studimu dan nanti bisa menikah.”

Menjawab omongan ibunya waktu itu, Caca lalu merespon ibunya dengan nada tinggi.

“Ibu, bukankah hidup ini pilihan? Kenapa saya tidak bisa memilih? Bukankah kita semua punya hak untuk menentukan pilihan? Ibu ‘kan pernah bilang, hidup ini pilihan. Mengapa sekarang pilihan saya tidak diterima ibu?”

Ibunya malah menjawabnya  dengan ketus.

“Sudahlah,  kamu sebaikya bicara saja sama ayahmu? Ibu sudah kamu buat pusing.”

Satu jam Caca telah berdiam diri, sebelum  akhirnya datang menemui ayahnya dan sangat berharap di situ muncul kata persetujuan ayahnya.

Tak lama kemudian, Caca memberanikan diri datang menemui ayahnya. Sang ayah tengah duduk, sembari menghisap rokok dan sepertinya ia juga sudah tahu permasalahan.

“Ayah,” panggil Caca dengan suara lirih.

Ayah sedikit mau menoleh dengan wajah senyum tipis.

Bibir Caca mulai bergetar ketakutan karena ingin segera memberitahu ayahnya. Ia takut akan ayahnya jangan-jangan juga  akan marah sama seperti ibunya.

Namun Caca harus  berani mengatakan semuanya.

“Saya harus bicara ini. Ayah, saya ingin menjadi suster biarawati, bolehkah?”

“Tidak adakah cita-cita selain itu?,” kata ayahnya.

Itu pertanyaan yang sama dengan ibu.

“Ayah, mengertikah keadaan saya. Ayah ‘kan Katolik, beda dengan Ibu sedikit kenapa?,” protes Caca membendung air mata.

“Ayah tidak setuju kamu jadi suster. Mulai sekarang, jika kamu tetap memilih jadi biarawati, kamu jangan panggil aku ‘ayah’ lagi. Kamu bukan anakku lagi.”

Ayah kasar sekali ketika berbicara seperti itu.

Perasaan Caca seperti disambar petir di siang bolong.

Caca langsung pergi meninggalkan ayahnya. Ia  masuk kamar dan kemudian tersengguk menagis.

Pergumulan batin itu sunggu dia rasakan sangat  begitu berat.

Caca menangis sambil bertanya menggugat Tuhan.

“Tuhan, adakah jalan keluar yang baik untuk semua perkara yang sedang kualami saat ini?,” begitu dia bergumam berkali-kali di kamar.

Satu bulan sudah Caca tiada henti selalu bergumul  dalam batin menghadapi ‘kekerasan hati’ kedua orangtuanya. Dan yang lebih tidak mengenakkan hati, mereka tetap  bergeming dengan  pendiriannya yakni menolak keinginan Caca.

Suatu sore, Caca minta uang ibunya  untuk beli bensin.

Ibu menjawab, “Untuk apa uang?”

“Kamu ‘kan mau jadi suster, jadi kamu harus belajar cari uang sendiri. Jangan minta uang dengan kami lagi. Kami tidak punya uang untuk kamu.”

Saat itu, Caca  benar-benar mulai  putus asa. Apa yang harus dibuatnya untuk bisa menggapai cita-cita?

Ia berdoa kepada Tuhan dengan derai air mata. Melalui doa-doa itu,  ia tanpa putus selalu berusaha supaya cita-citanya bisa  tercapai.

***

Pada malam itu, Caca mulai memberanikan diri duduk bersama ayah dan ibunya. Biasanya selesai makan malam, mereka berdua suka duduk atau nonton bersama.

Namun semenjak kedua orangtuanya mulai tidak sejalan dengan Caca, maka  ia memilih menyingkir dan menyendiri di kamar untuk kemudian berdoa dan menangis.

Saat itu, ayah dan ibunya tengah duduk berdua di ruang keluarga. Mereka sepertinya sedang membicarakan Caca.

Caca memberanikan diri datang menghadap mereka. Kepada ayah-ibunya sendiri, Caca minta izin bisa ikut menoreh karet di hutan untuk kemudian bisa berbagi hasil dengan mereka.

Langkah berani nan nekat itu Caca lakukan, karena keduaorangtuanya sudah tidak mau menganggap dia sebagai anak.

Di hadapan kedua orangtuanya sendiri, kini Caca merasa diri seperti anak hilang. Ia merasa yakin bisa  berkerja di kebun karet ayahnya.

Sebagai orang upahan orangtuanya sendiri, Caca mengaku hanya mampu  menoreh karet selama tiga hari.

Karena tidak bisa berlama-lama di hutan karet sendirian, maka Caca hanya bisa mengumpulkan karet dan kemudian  ‘menjual’ karet kepada orangtuanya sendiri.

Mereka lalu menghitung harga, dan ayah-ibunya lalu membeli hasil dagangan anak kandungnya sendiri. Seperti yang sudah disepakati bersama, untuk karet hasil torehan tiga hari itu, Caca diganjar upah Rp 60 ribu.

Uangnya dia isimpan. Saat itu, waktu sekolah Caca masih dua bulan lagi sebelum akhirnya rampung tutup tahun ajarannya.  Ia memanfaatkan waktu sisa dua bulan tahun ajaran itu dengan berjualan kerupuk dan nasi goreng di sekolah dan kemudian menjajakannya kepada murid dan guru.

Seperti biasa, Caca lalu pulang ke rumah berbagi hasil. Setiap hari, ia bisa mendapat upah sebesar Rp 30 ribu dari kedua orangtuanya.

Selama dua bulan berlangsung, Caca bisa mendapatkan tabungan uang Rp 500 ribu.

“Puji Tuhan, saya bisa masuk biara. Doa saya didengarkan Tuhan,” begitu gumamnya. (Berlanjut)

Setia-Mu Jadi Tantanganku: Inilah Perjalanan Panggilanku (2)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here