SELESAI ujian, Caca pergi ke Pontianak ditemani kakakya yang waktu itu tengah libur di rumah. Kakak menjadi sedikit tahu permasalahan Caca dengan kedua orangtuanya, walaupun ia tidak dapat menentukan pilihan pendapat siapa yang harus dipertahankan.
Karena ia takut Caca ‘hilang’, maka dia memutuskan akan menemani adiknya pergi ke Pontianak.
Caca hanya bisa menangis di kamar. Sang kakak selalu mengatakan sebaiknya Caca jangan masuk biara. Namun, adiknya tetap dengan pendirian ingin masuk biara.
Masih tinggal satu pekan sebelum masuk novisiat untuk mengenal Biara St. Augustinus, Caca kembali ke rumah. Ternyata ayah-ibu tetap bergeming tidak setuju anaknya menjadi suster biarawati.
Waktu Caca pulang ke rumah, ibunya kedapatan sakit. Ayah mendamprat dan kemudian memarahinya. Malam sebelum berangkat ke biara untuk selamanya, Caca memberanikan diri berpamit dengan ayah-ibunya, kalau dia ingin tetap menjadi seorang suster.
Tiba-tiba saja, ibunya lalu mengalami sesak napas.
“Ibu, ini pilihanku. Tolong, doakan aku di sana,” pinta Caca kepada ibunya dengan nada memelas.
Ibu menjawab: “Iya, kudoakan kamu pulang ke rumah dan memelihara kami di sini.”
“Maaf Bu, pilihan saya telah mengecewakan Ibu. Namun, saya berjanji ketika ibu sakit, saya akan pulang merawat ayah dan ibu. Saya akan minta izin dengan pemimpin kami.”
Namun, ibunya tetap tidak mau mendengarkan omongan Caca.
Pagi harinya, Caca kembali ke Pontianak. Sebelum berangkat meninggalkan rumah, ia menyempatkan diri pamit. Namun, ayahnya tidak ada di tempat dan tidak mau melihat Caca, anaknya, berangkat kembali ke biara di Pontianak.
Ayahnya pergi, karena kemarahannya memuncak.
Ibu datang menyasikan Caca pergi ke biara. Namun, tak seberapa lama dan setelah Caca masuk biara, Ibunya alu sakit dan mengalami stres berat.
***
Tiga tahun sudah Caca telah melewati masa pendidikan dasar menjadi seorang suster biarawati OSA. Dalam masa-masa pembinaan diri itu, ia selalu mendoakan 15 kali doa Salam Maria dan Bapa Kami, mendaraskan novena untuk keluarganya supayaakhirnya mereka mau menerima kenyataan itu.
Ternyata, sebelum terima jubah, kakaknya diam-diam memberanikan diri datang menghadap suster pemimpin postulan dan memohon supaya Caca tidak usah menerima busana biara dan menyuruhnya sebaiknya pergi saja dan keluar meninggalkan biara.
Kata sang kakak kepada suster pembina, “Ibu sakit dan tidak setuju.”
Namun, semua keputusan tetap ada pada Caca. Kepada kakaknya, Caca tegas mengatakan dia ingin tetap menjadi suster. Pilihan ini, kata Caca kepada kakaknya, harus dia pertanggungjawabkan.
Setiap hari, Caca melewati hari-hari pendidikan di novisiat dengan senantiasa mendoakan ayah dan ibunya.
Tiba saatnya, ketika Caca harus mengucapkan profesi (kaul) pertamanya. Setelah profesi, ia lmendapat jatah cuti bisa pulang ke rumah.
Ternyata, selama menikmati masa cutinya itu, Caca tidak bisa berada-bersama kedua orangtuanya. Itu karena mereka telah dengan sengaja meninggalkannya sendirian di rumah.
Caca merasa sedih kecewa, kesal diri mengapa kedua orangtuanya begitu saja tega meninggalkan dia sendirian di rumah.
Libur itu tidak lama, karena ia harus segera pulang balik ke biara. Saat beranjak mau pergi meninggalkan rumah, Caca tetap mendoakan ayah-ibu dan kakak kandungnya.
***
Pengalaman ini mengingatkan Caca, ketika Yesus berada sendirian di atas kayu salib. Semua orang telah meninggalkan Dia. Yesus juga sendirian dan Caca ingat betapa Yesus yang tengah tergantung di kayu salib juga sendirian.
Caca telah pulang kembali ke novisiat. Sesaat sebelum datang kesempatan menikmati cuti kedua, dia berprakarsa menelpon ayah-ibunya.
“Ayah-ibu, saya akan pulang liburan. Kalau ayah-ibu ada di rumah, maka saya mau pulang. Kalau tidak ada di rumah, maka saya ingin liburan ke Papua saja karena di sana saya merasa tidak sendirian.”
Tiba-tiba saja, kedua orangtuanya menjawab positif. “Ya, sebaiknya kamu pulang saja. Kami tunggu, kamu pulang ya.”
Maka, Caca pun lalu pulang ke rumah.
Betapa senang hatinya, ketika ternyata ibunya sudah bersedia menyambut kedatangannya di depan pintu dan itu membuat dia merasa sangat bahagia.
Dan lebih membahagiakan lagi, ketika ibunya mengaku sudah sering ikut misa di Gereja Katolik dan setiap malam malah juga sudah mulai ikut berdoa Rosario.
Beberapa waktu berikutnya, Caca dan ibunya malah melakukan retret bersama. Di sana mereka berdua sering melakukan doa Rosario bersama.
Semua kerinduannya akan penerimaan keluarga atas keputusannya ingin menjadi suster biarawati itu akhirnya kini bisa terbayar sudah.
Doa dan harapannya didengarkan Tuhan dan dikabulkan Tuhan.
Kini, bagi Caca, ibunya menjadi pendoa pertama baginya yang mendukung keberadaannya di biara.
Caca mengaku diri menjadi lebih ‘kuat’, bukan karena dia sendiri kuat. Ia menjadi lebih kuat, karena kekuatan doa ibunya.
Terima kasih Bunda Maria yang sudah selalu menyertai keluarga dan para sahabat yang selalu ada untuk Caca.
Caca itu adalah siapa saja yang mengalami lika-liku panggilan hidup karena mendapat tentangan dari pihak keluarga. Caca juga bisa mewakili jatidiri banyak suster lain yang pernah mengalami perjalanan panjang dan berliku menuju panggilan religiusnya sebagai suster biarawati. (Selesai)
https://www.sesawi.net/setia-mu-jadi-tantanganku-inilah-perjalanan-panggilanku-3/