Rabu, 23 September 2020
PW St. Padre Pio dari Pietrelcina, Imam
Ams 30:5-9 dan Luk 9:1-6
TAHUN pertama sebagai imam, saya bertugas di Paroki Waiwadan, Adonara (2002-2006). Waktu itu Paroki Waiwadan masih meliputi juga wilayah perbukitan, yang sekarang sudah jadi paroki mandiri, Paroki Ritawolo.
Medan yang cukup berat, waktu itu. Jalannya berbatu dan menanjak.
Waktu Pekan Suci 2004, saya mendapat jadwal pelayanan ke wilayah perbukitan. Ketika menjemput seorang suster di komunitas SSpS, moeder komunitas menyiapkan untuk kami satu tas plastik penuh makanan.
Katanya untuk bekal. Kami tidak bisa bawa, karena selain medan berat, juga sudah ada tas pakaian dan perlengkapan misa. Lagi pula, di stasi yang dikunjungi, umat sudah menyiapkan makanan dan lainnya untuk pastor.
Kalau musim hujan, jalan ke wilayah perbukitan tak bisa dilalui sepeda motor. Kita mesti berjalan kaki, sambil membawa sendiri barang bawaan.
Tapi situasi ini selalu menggembirakan. Umat yang ramah dan bersahabat memberi sukacita tersendiri dalam pelayanan.
Tahun 2008, tepatnya bulan November saya menjejakkan kaki pertama kali di tanah Minangkabau, sebagai misionaris Fidei Donum.
Oleh Uskup Keuskupan Padang, saya ditempatkan di Paroki St. Maria Assumpta Sikakap, Mentawai (2008-2014).
Medannya menantang. Di darat jalannya memprihatinkan. Dan kalau lewat laut kita siap dihadang badai dan gelombang Samudera Indonesia.
Dalam setiap perjalanan ke stasi harus bawa bekal dan pakaian yang cukup. Karena kalau badai kita mesti bersembunyi, sambil menikmati bekal.
Dan pasti kuyup, karena diterjang ombak, perlu pakaian ganti. Tapi sekali lagi, ini situasi yang sekaligus menantang dan menggembirakan.
Seorang utusan mesti memiliki kesiapan dan kesediaan hati untuk diutus dan melaksanakannya penuh sukacita.
Tuhan selalu menyiapkan segala keperluan bagi orang yang diutus-Nya.
Mari kita beri diri diutus menjadi pewarta Injil kepada semua orang. Amen.