Aku datang ke pasar ini suatu siang, ketika matahari sedang marah di atas Nabire. Orang kerap menyingkat namanya menjadi Kartumati.
Persis pada gerbangnya adalah pos penjaga. Dua orang polisi di dalam ruang kecil, lengkap dengan senjata mereka. Mereka ada di situ setelah suatu peristiwa konflik pada Agustus 2007. Asap rokok mengepul, melintas di depan dua bola mata yang tampak lelah. Orang lalu lalang tapi tak seorang pun singgah kepada mereka meski pintu kamar jaga terbuka. Aku tidak melihat ada yang menyapa mereka berdua.
Orang berkata bahwa mereka sedang berjaga. Aku bertanya, apa yang mereka jaga? Apa yang mereka lindungi? Aku masih bertanya lagi dengan nada meragu. Apakah mereka di sana itu tidak untuk sekadar menghadirkan ketakutan pada orang-orang di Karang Tumaritis? Lalu, untuk apa orang dibuat takut? Barangkali mereka, entah siapa yang kumaksud dengan ‘mereka’ berpikir bahwa orang yang ketakutan akan lebih mudah diatur, lebih gampang ditaklukkan.
Aku tidak tahu, apa yang mereka jaga di Pasar Karang Tumaritis ini. Adakah sesuatu yang bagi mereka berharga? Siapa yang berharga di mata mereka berdua?
Aku setengah yakin, mereka tidak sedang menjaga mama-mama yang duduk beralas karung menjajakan ubi atau hasil kebun mereka. Mereka juga tidak sedang menjaga gadis kecil yang turut berdagang sambil menahan jerit terpanggang matahari yang sedang marah.
Aku masih bertanya hingga kini, siapa yang mereka jaga di pasar itu?