Yes. 50:5-9a; Yak. 2:14-18; Mrk. 8:27-35
Hari Minggu kemarin kita merenungkan pokok iman kita tentang Yesus Kristus. Para murid mengakui Yesus sebagai Messias, keturunan Daud yang ditunggu-tunggu, yang akan memulihkan kejayaan kerajaan Israel. Tetapi tanggapan Yesus justru melarang para murid menyebar luaskan hal itu. Yesus memilih menyebut DiriNya sebagai Anak Manusia.
Anak Manusia disebut hanya sekali dalam kitab Dan. 7:13: sebagai yang menerima kuasa dari Allah untuk memerintah pada akhir jaman. Tetapi Anak Manusia juga sering disamakan dengan Hamba Yahwe dalam kitab nabi Yesaya, yang akan menanggung dosa manusia untuk menyelamatkan mereka. Bagi kita nampaknya ini hanya permainan kata, perbedaan istilah belaka. Tetapi dalam kenyataan hidup, menyebut Yesus sebagai Messias atau Anak Manusia, membawa perbedaan dalam sikap hidup.
Petrus yang dengan berani dan penuh keyakinan mengakui Yesus sebagai Messias, tidak dapat menerima bahwa yang dipercaya dan yang diikutinya akan gagal dan terbunuh. Pandangan Petrus tentang Messias, sama dengan pandangan umum orang Yahudi, Messias adalah tokoh politik yang akan membebaskan mereka dari penjajah Roma.
Dan dia ditegur Yesus sebagai setan yang harus menyingkir karena bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia. Apa yang dipikirkan oleh Allah? Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Inikah yang dipikirkan Allah? Kita harus mengikuti PuteraNya untuk hidup menderita?
Saat persiapan pemandu saat membahas tentang Mukjijad Yesus, ada diskusi menarik. Apakah kita boleh minta penyembuhan dari orang-orang pintar yang bukan Katolik? Diskusi mula-mula berfokus pada apakah orang-orang di luar Gereja, dipakai oleh Yesus juga? Jawabannya: orang yang memakai kekuatannya untuk menyembuhkan, bukan mencelakakan dan ia menolong tanpa pamrih, bukan untuk memperkaya diri adalah tanda orang yang dipakai Tuhan Tesus. bersambung