DI ujung konferensi pers di Kantor KWI hari Kamis (12/11) lalu, berbagai pertanyaan mengenai isu-isu sosial mutakhir diajukan kepada Mgr. Ignatius Suharyo dalam kapasitasnya sebagai Ketua KWI 2015-2018. (Baca: Sidang KWI 2015: Menuju Gereja Katolik Indonesia sebagai Komunitas Pengharapan (2)
Namun, alih-alih memberikan ‘jawaban’ terhadap aneka pertanyaan dari insan media ini, Mgr. Ignatius Suharyo malah menegaskan, apa yang dikatakan ini bukanlah jawaban, melainkan tanggapan atas issue yang berkembang atau ditanyakan oleh media.
Intinya, kata Mgr. Ignatius Suharyo, jawaban itu tidak sama dengan tanggapan.
Inilah beberapa poin pertanyaan yang mengemuka dalam kesempatan jumpa pers tersebut. Tanya-tanggapan ini kami paparkan dalam kilasan berikut ini.
Tanya: Bagaimana langkah kongkret yang akan diambil Gereja Katolik Indonesia dalam menyikapi hasil-hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI ke-4) tanggal 2-6 November 2015 lalu dan bagaimana hal itu diletakkan dalam perspektif “Gereja Katolik Indonesia sebagai Komunitas Pengharapan”?
Tanggapan: SAGKI 2015 menegaskan kembali posisi Gereja sebagai ‘guru’ dan ‘ibu’ bagi keluarga-keluarga dimana sukacita Injil dialami, dirasakan, dan diperjuangkan. Karenanya, perlu dikembangkan cara-cara reksa pastoral baru untuk pendampingan keluarga.
Dalam hal ini, Komisi Keluarga KWI dan Komisi Keluarga di Keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia akan memikirkannya lebih lanjut. Pendampingan-pendampingan keluarga itu juga harus kongkret. Misalnya, bagaimana Komisi Keluarga bisa membantu mereka yang kesulitan menyelesaikan administrasi perkawinan, misalnya, hak untuk mendapatkan Akta Nikah Sipil, Akta Lahir untuk anak-anak mereka.
Tanya: Bagaimana dengan meningkatnya jumlah buruh migran?
Tanggapan: Keuskupan Larantuka dan Keuskupan Tanjungselor harus bekerjasama dan kemudian kedua keuskupan ini harus menjalin kontak dengan mitranya dari luar negeri. Yakni, misalnya, Keuskupan Sabah di Malaysia Timur yang harus disapa dan diajak bekerja sama untuk sebuah tujuan bersama: reksa pastoral kepada buruh migran asal Indonesia.
Tanya: Bagaimana Gereja Katolik Indonesia mesti menyikapi dominasi mayoritas terhadap minoritas?
Tanggapan: Kita harus selalu berpegang pada Konstitusi dan jangan yang lain-lain.
Tanya: Menyikapi agenda nasional yakni Pilkada Serentak di bulan Desember 2015, apakah Gereja Katolik Indonesia mengizinkan pastor, bruder, dan suster-nya terlibat dalam politik praktis?
Tanggapan: Tidak. Itu bukan ranah kami, melainkan panggung yang harus dimainkan oleh kaum awam katolik. Tugas Gereja adalah ‘menyucikan’ dunia dan melalui awam-awam katolik yang baik dan mumpuni, tugas menyucikan dunia itu juga berlangsung. Arahnya adalah menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), transparansi.
Banyak awam katolik yang juga melibatkan diri pada kelompok-kelompok penggiat dan gerakan anti korupsi. Yang harus disampaikan Gereja Katolik kepada para politisi katolik adalah seruan agar berpolitik yang baik dengan tetap membawa etika politik yang baik.
Terserah mau masuk partai apa saja, asalkan berpolitik yang baik dan tetap menjunjung etika politik. Kalau bergerak di bisnis, maka jalankanlah bisnis yang baik dengan tetap mengedepankan fairness dalam konteks hubungan industrial buruh-majikan.
Tanya: Bagaimana sikap Gereja Katolik terhadap hukuman mati? Utamanya menyikapi kasus Mary Jane Velosso?
Tanggapan: Ini bukan perkara di Indonesia saja, melainkan arus zaman sekarang ini menandakan bahwa semakin beradabnya bangsa di zaman modern ini, maka kecenderungannya adalah mengikis anasir-anasir ‘kekerasan’. Termasuk di dalamnya kecenderungan umum untuk juga menghapus hukuman mati.
Jadi, konteks tanggapan ini bukan tentang Mary Jane Velosso, melainkan fenomena umum yang terjadi di masyarakat internasional dan Gereja Katolik Universal.
Kredit: Yohanes Indra/Dokpen KWI