SETELAH Sinode Keluarga tahun 2014 dan 2015 yang hasilnya dirangkum dalam imbauan apostolik Amoris Laetitia, Paus Fransiskus merencanakan suatu sinode pada bulan Oktober 2018 dengan tema: “Orang Muda, Iman dan Panggilan Hidup”. Sebuah pernyataan dari Vatikan menyatakan bahwa tema itu dipilih untuk mengungkapkan perhatian Gereja bagi pastoral orang muda sebagai tindak lanjut hasil sinode tentang keluarga.
Sinode tersebut diharapkan dapat menemani orang muda dalam perjalanan hidup mereka menuju pada kematangan, melalui proses discerment dan menemukan arah hidup mereka sehingga mereka dapat mencapainya dengan penuh kegembiraan. Orang muda perlu disiapkan sebagai generasi yang akan mengambil bagian dalam membangun Gereja dan masyarakat.
Berita dari Vatikan ini terdengar pada saat IYD 2016 yang baru saja berakhir pecan lalu di Manado dan AYD 2017 di Keuskupan Agung Semarang kini mulai disiapkan. Tidak dapat disangkal bahwa OMK bukan hanya masa depan Gereja melainkan masa kini Gereja. Bukan nanti OMK berperan, melainkan sekarang ini juga mereka sedang berperan.
Anak angkat OMK
IYD kedua di Keuskupan Manado meninggalkan banyak kenangan indah. Salah satu yang ingin saya angkat di sini adalah: terjadinya banyak ‘anak angkat’.
Live in di dalam keluarga-keluarga telah menghubungkan OMK itu kepada keluarga baru yang “kebetulan” di tempatinya. Saya mengintip di Facebook beberapa pernyataan mama – papa angkat yang mengungkapkan kegembiraan mereka mendapatkan “anak baru”.
Ada yang mengatakan: “Akhirnya, kami punya anak cewek”, mungkin karena anak keluarga itu laki-laki semua. Ada seorang ibu yang punya seorang anak cewek dan dua cowok mendapatkan anak angkat cewek, dan ia mengatakan, “ini kembaran anak cewek saya.”
Tidak mustahil bahwa setelah IYD itu dan mereka sudah diangkat sebagai anak, maka akan terjadi kelanjutan relasi antar keluarga dan mereka bisa saling mengunjungi lagi biarpun dengan jarak yang jauh. Atau anak–anak angkat itu akan dipanggil lagi datang ke Manado pada hari Natal nanti untuk menikmat ramainya Natal di Manado.
‘Anak angkat’ itu benar-benar memanggil mama–papa kepada orangtua angkat yang ditempati untuk live in.
Saya kebetulan bertemu di Seminari salah satu anak angkat itu yang berasal dari Keuskupan Tanjung Selor (Kalimantan Utara) dan punya orangtua angkat dari Paroki Rike.
Saya bertanya: “Adik nama siapa?”
“Santi, Pastor”.
“Dari mana?”
“Dari Keuskupan Tanjung Selor, Batik.”
“Batik, maksudnya?”
“Pulau Sebatik”.
Itu pulau yang dua pertiga milik Indonesia dan sepertiga milik Malaysia. Rumah saya itu, bagian depan bagian dari Indonesia, dan bagian dapur sudah masuk negara Malaysia. (Bukan main, begitu mepetnya perbatasan dua negara, sama dengan dua tetangga rumah saja).
Dia datang lagi ke Seminari sore hari diantar oleh papa dan adik-kakak angkat satu mobil. Nampak bahwa mereka rasa berat mau berpisah. Santi datang ke Seminari untuk melihat barang yang teringgal di kamar tempat ia menginap selama IYD.
Orang Manado kalau mengangkat anak, selamanya akan diangkat anak karena mungkin ada pengaruh dari penghayatan: mama ani dan papa ani. Istilah dalam hukum Gereja untuk pendamping baptisan adalah wali baptis (terlalu formal); sedangkan istilah Manado adalah bapak–ibu serani (papa dan mama ani). Tugas mereka bukan hanya mendampingi waktu baptis dan mengingat-ingatkan anak itu untuk masuk Gereja, melainkan juga membelikan baju Natal, memberi uang saku di hari pesta, mendampingi sambut baru dst…
Selamat kepada papa dan mama angkat serta ana –anak angkat….!
Semoga kontak lewat sms dan bbm jalan terus…
** Diolah dari bahan antar alain dar tulisan Iacopo Scaramuzzi