Rabu, 16 April 2025
Yes 50:4-9a.
Mzm 69:8-10.21bcd-22.31.33-34.
Mat 26:14-25
KETIKA kita mendengar nama Yudas Iskariot, yang terlintas di pikiran kita adalah pengkhianatan.
Namun, mari kita lihat lebih dalam. Yudas bukanlah sosok yang secara terang-terangan membenci Yesus. Ia tidak pernah menjadi musuh Yesus dalam arti kebencian pribadi.
Justru, Yudas adalah seseorang yang sejak awal mengikuti Yesus, berjalan bersama-Nya, menyaksikan mukjizat-Nya, dan mendengar langsung ajaran-ajaran penuh kuasa dari Sang Guru.
Tapi Yudas mencintai sesuatu yang lain, yakni uang. Cinta yang salah arah inilah yang perlahan-lahan menggantikan kasihnya kepada Sang Mesias.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Kemudian pergilah seorang dari kedua belas murid itu, yang bernama Yudas Iskariot, kepada imam-imam kepala.
Ia berkata: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mereka membayar tiga puluh uang perak kepadanya.”
Yudas melihat Yesus sebagai tokoh yang hebat, penuh kuasa, dan bagi Yudas, itu adalah peluang. Peluang untuk “bermain strategi”, peluang untuk mengambil untung.
Ia berharap Yesus akan melawan kekuasaan Romawi dengan kekuatan supra natural-Nya, bahwa dengan sedikit tekanan, sedikit manipulasi, Yesus akan masuk ke dalam skenario yang dia bangun: sebuah pemberontakan yang heroik dan penuh kuasa.
Namun, Yudas keliru besar.
Yesus tidak datang untuk menaklukkan dunia dengan kekerasan. Dia tidak bermain dalam politik kuasa, apalagi mengikuti kalkulasi untung-rugi.
Jalan yang dipilih Yesus adalah jalan kasih, kasih yang diam dalam menghadapi hinaan, kasih yang tetap tenang saat dijual dan diserahkan, kasih yang tidak melawan saat dipukul dan disalibkan.
Yesus tidak melawan kekejaman dengan kekerasan, tetapi dengan kelembutan hati dan pengampunan.
Di sinilah kehancuran Yudas dimulai bukan karena Yesus gagal, tapi karena Yesus tidak berjalan di jalan yang Yudas inginkan. Ketika ia sadar bahwa semua perhitungannya salah, penyesalan datang terlambat.
Yudas telah menukar Sang Juruselamat dengan perak, demi mimpi politik dan keuntungan dunia.
Berapa sering kita, tanpa sadar, juga mencoba memasukkan Yesus ke dalam “skenario” kita?
Kita ingin Dia menyetujui rencana kita, memberkati ambisi kita, dan mendukung jalan kita yang tampaknya “baik” tapi dibangun di atas dasar yang keliru, uang, kekuasaan, kenyamanan.
Yesus tidak bisa dijadikan alat dari ambisi kita. Dia adalah Tuhan yang berjalan dalam kasih, bukan dalam manipulasi. Dia menaklukkan dunia bukan dengan pedang, tetapi dengan salib.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku mencintai Yesus dengan benar atau aku mempunyai skenario demi kepentingan sendiri?