Skeptisisme Makin Menggurita (2)

0
1,149 views

Di suatu siang, di sebuah ruang kuliah yang sama, saya menerangkan kembali apa itu skeptisisme. Istilah ini mungkin jarang digunakan oleh mahasiswa sekarang. Mungkin pengucapannya terlampau sulit sehingga sulit juga untuk memahami artinya. Maka, saya ganti saja istilah itu dengan padanan kata dalam bahasa Indonesia.

Skeptisisme dalam arti tertentu bisa diartikan sebagai “keraguan” atau “ragu-ragu.” Para mahasiswa itu mulai mengerti maksudnya. Lalu, saya bertanya kepada salah satu mahasiswa.

“Mas, pernah merasakan keraguan? Atau ragu-ragu, sesuatu yang tidak pasti?”

Mahasiswa itu lantas berkata, “Iya pak, saya sekarang sedang merasakan keraguan itu.”

Saya lanjut bertanya, “Apa yang membuat Anda merasa ragu?”

Dia menjawab, “Saya ragu-ragu apakah orangtua saya mampu untuk membiayai kuliah saya sampai selesai. Saya ragu apakah saya bisa melanjutkan kuliah ini….”

Meskipun mahasiswa ini belum cukup tepat menerangkan skeptisisme ala Rene Decartes, dia sudah mengatakan tentang sesuatu yang sebenarnya cukup membuat saya lebih skeptis.  Skeptis terhadap nasib banyak anak muda yang sedang mengalami hal yang sama seperti mahasiswa tersebut.

Ragu apakah mereka bisa menyelesaikan pendidikan, bukan karena tidak pandai, namun karena tidak ada biaya. Pendidikan menjadi semakin mahal. Tengoklah pemberitaan tentang menurunnya Indeks Pembanungan Manusia (IPM) untuk Indonesia. Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia bertemu dengan Presiden SBY yang menyatakan bahwa IPM Indonesia versi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikeluarkan pada tanggal 2 November 2011 mengalami penurunan dari peringkat ke-108 pada tahun 2010 menjadi peringkat ke-124.

Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi kurang berkualitas. Meskipun pemerintah Indonesia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga triwulan III tahun 2011 mencapai 6,5 persen. Kita tidak memungkiri bahwa anggaran untuk pendidikan semakin meningkat dari tahun ke tahun, disebutkan bahwa anggaran pendidikan untuk tahun 2008 sebesar Rp. 55,30 triliun, tahun 2009 sebesar Rp. 84,92 triliun, tahun 2010 sebesar Rp. 90,82 triliun dan pada tahun 2011 menjadi  Rp. 91 triliun.

Pertanyaannya mengapa anggaran pendidikan meningkat namun IPM menurun? Itulah yang membuat kita semakin skeptis dengan pendidikan di Indonesia. (Kompas, 9/11)

Tidak sepadan
Beberapa waktu silam, dipersoalkan juga soal penghargaan pemerintah terhadap penghargaan para peneliti yang tidak sepadan dengan jerih payah mereka. Bahkan banyak hasil penelitian yang baik tidak digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan pembangunan yang semakin berkualitas.

Mungkin saja, soal penghargaan bagi para peneliti dan hasil karyanya bisa terkait dengan IPM yang merosot, karena sebenarnya negeri ini tidak pernah serius untuk menghargai hasil karya ilmiah yang menggunakan nalar dan rasional untuk menata dan mengembangkan berbagai sektor yang vital bagi kehidupan warganya, seperti kesehatan, pendidikan dan pengentasan kemiskinan.

Jika indeks ekonomi memang bisa dikatakan membaik, mengapa keraguan mahasiswa tadi masih cukup kuat membayangi masa depannya. Bukan hanya satu mahasiswa kiranya, namun jutaan mahasiswa harus bertaruh terhadap nasibnya: apakah mereka masih bisa menyelesaikan kuliahnya akibat tidak adanya cukup biaya?

Persoalannya makin mengerucut. Kalau capaian ekonomi Indonesia sampai dengan 6,5 persen, apakah itu benar-benar merata dinikmati oleh warga Indonesia yang benar-benar membutuhkan? Faktanya, kesenjangan dan kemiskinan masih menjadi soal utama di Indonesia. Itu berarti bahwa belum ada sistem pemerataan ekonomi yang bisa dinikmatai oleh semua kalangan.

Mereka yang memiliki akses terhadap pertumbuhan ekonomi itu masih kelompok kecil dan dari sektor tertentu, misalnya sektor perdagangan. Nah, bagaimana dengan sektor-sektor lain? Mungkin belum terkena dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut.

Apakah pendidikan dan secara lebih khusus bidang-bidang penelitian juga akan mendapatkan jatah untuk menikmati pertumbuhan ekonomi itu. Agak mustahil tampaknya. Maka, pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen, tetaplah menjadi keraguan bagi mayoritas masyarakat Indonesia, apakah mereka benar-benar bisa merasakan dampak dari pertumbuhan tersebut.

Parahnya lagi, pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati oleh para politisi korup dengan kerabat partainya. Maka layak kalau skeptisisme itu tidak lantas hilang dengan pameran data yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen, karena justru semakin menguatkan bahwa pertumbuhan ekonomi itu hanya berhenti di kalangan para koruptor. Mungkin saja….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here