Di sebuah ruang kuliah, saya sedang menerangkan skeptisisme ala Rene Decartes. Kuliah filsafat sains dan teknologi itu menjadi menarik bukan karena mahasiswa saya begitu semangat berdiskusi. Justru sebaliknya, mereka tidak paham tentang arti skeptisisme itu sendiri.
Itulah yang membuat saya tertarik dengan bersikap skeptis terhadap mereka. Apakah di zaman ini berpikir rasional dan mempertanyakan apa yang sebenarnya tidak wajar itu sudah terlampau menjadi sebuah kewajaran? Mungkin saja.
Begitu maraknya sikap skeptis itu, maka fenomena sosial itu sendiri sudah bukan barang yang mewah. Dan siang itu, saya bertanya, apakah memang sikap skeptis orang Indonesia terhadap kondisi sosial yang semakin sulit membuat orang tidak lagi memiliki kepekaan untuk bersikap kritis terhadap berbagai hal yang terlampau biasa dan wajar, misalnya korupsi, kekerasan, ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Didera skeptis
Siang itu, selepas mengajar saya merasa bahwa justru saya yang sedang didera oleh perasaan skeptis itu sendiri. Padahal, jika perasaan skeptis itu konsisten mendekam dalam hati saya, saya akan terus berputar-putar dengan perasaan itu. Perasaan skeptis itu bukan sebuah sikap positif.
Bahkan, dalam cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan, skeptisisme itu tidak menjadi salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan yang sahih. Skeptisisme terlampau banyak berputar-putar untuk meragukan apa pun yang sedang terjadi di dunia ini.
Namun, apa yang saya lihat dalam perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia, justru itu yang sekarang sedang melanda masyarakat Indonesia. Skeptisisme itu terlampau kuat sehingga muncul sebuah situasi negatif yang terlampau menyeruak dalam ruang-ruang publik, terutama lewat berbagai media entah itu elektronik atau tulis.
Skeptisme itu merupakan sebuah akibat, bukan sebagai penyebab. Dan sulitnya, sikap itu justru muncul dari kalangan pemimpin-pemimpin kita sendiri, misalnya bagaimana mungkin seorang ‘bandit hukum’ terpilih menjadi seorang menteri atau seorang calon presiden?
Apakah memang tidak ada orang baik di Indonesia yang memang pantas untuk jadi pemimpin? Itu juga yang semakin memperkuat munculnya skeptisme masyarakat tentang Indonesia masa depan…