Saya termasuk salah satu penonton yang menanti kehadiran film berjudul Soegija dan telah menyaksikan secara langsung film tersebut pada hari Minggu (10/06) lalu. Namun jujur, sebagai penonton yang telah menanti film ini sejak lama, saya merasakan beberapa kekecewaan setelah menontonnya.
Ekspektasi
Ekspektasi saya terhadap film ini sangat tidak terpuaskan terutama berkaitan dengan penceritaan tokoh Soegija di dalam film. Sebagai umat Katolik yang menyaksikan film ini, saya memiliki ekspektasi bahwa film ini mampu menceritakan sosok patriotik seorang tokoh besar Katolik di negeri ini yang tercermin dalam sosok Romo Soegija.
Ketika saya membaca judul filmnya : “Soegija”, maka yang ada di benak saya mengenai film ini adalah rentetan scene atau adegan yang menampilkan karakter dan kewibawaan Romo Soegija yang berusaha memperbaiki kondisi masyarakat di zaman penjajahan tersebut.
Setidaknya, meski tidak berperang dengan senjata menghadapi penjajah, maka adegan-adegan yang saya bayangkan adalah berbagai diplomasi yang berusaha diperjuangkan tokoh Soegija bagi masyarakat sekitar melalui otoritasnya sebagai Uskup Danaba di Semarang. Namun ternyata, adegan-adegan dan dinamika diplomasi tidak sungguh-sungguh digambarkan secara gamblang di dalam film ini.
Kontradiksi
Penceritaan karakter Romo Soegija sangatlah lemah, dan hampir tidak begitu kentara. Justru saya menemukan banyak adegan yang bersifat paradoks dalam film ini. Beberapa contoh antara lain, Romo Soegija ditampilkan sebagai tokoh yang suka menulis. Tulisan-tulisannya terutama berbau perjuangan kemanusiaan. Namun, tidak ada adegan lanjutan yang menggambarkan aksi konkrit Soegija memperjuangkan kemanusiaan. Juga ketika ia menyatakan bahwa imam haruslah melayani, dan jangan didahulukan dilayani, seperti dialog berikut :
“Jika rakyat kenyang, biar para imam yang terakhir kenyang. Bila rakyat kelaparan, biar para imam yang pertama kelaparan. Layani rakyat…Jangan layani saya”
Namun justru di lain sisi, tokoh Soegija dalam film selalu ditampakkan sebagai sosok yang selalu dilayani oleh seorang tokoh bernama Toegimin, sang koster, yang diperankan oleh Butet Kartaredjasa. Kehidupan Soegija yang serba dilayani tersebut secara eksplisit sangatlah kontras dengan kondisi masyarakat sekitar yang lapar, takut, sakit, dan menderita.
Pelayanan dan diplomasi Soegija pun tidak terlalu tampak dan hanya terlihat dalam adegan-adegan kunjungan ke masyarakat. Yang justru terlihat sangat menonjol di dalam adegan Romo Soegija ini adalah kultur hirarkis yang kental dalam Gereja Katolik sebelum Konsili Vatikan kedua.
Adegan yang berulang-ulang seperti mencium cincin Romo Soegija, dipanggil dengan sebutan Romo Kanjeng, dan bagaimana umat menunduk saat menghadap Uskup, serta bagaimana beliau selalu mendapat laporan dari pimpinan pemuda menjadi sungguh ironis dan kontradiktif dengan pesan egaliter dan kemanusiaan yang disampaikan.
Sungguh, kehausan saya akan sosok patriotik Soegija tidak terpuaskan melalui film ini. Tapi mungkin menarik juga, bahwa bisa jadi film ini mau mengkontraskan kultur hirarkis (yang harus diakui masih kental hingga saat ini) dengan pesan-pesan suci penuh kemanusiaan yang selalu diwartakan oleh hirarki Gereja itu sendiri. Ada tegangan, dan di sinilah unsur manusiawi dari Gereja dan Hirarki ingin diperlihatkan di dalam konteks pelayanan dan perjuangan kemerdekaan.
(bersambung)
Leonella Petrina Massardi
Mahasiswi Sosiologi FISIP Universitas Indonesia,
alumnus SMA Kolese Loyola Semarang
Saya melihat Sugiya dan Tugimin , Romo dan Koster , dua 2 nya tampil seperti Satria dan Punakawan , sepasang manusia sejati yang saling melengkapi . Inilah justru sisi indah dari Sugiya .
wah saya kok gak menemukan pesan kemanusiaannya,film ini ya sekelas untuk pelajaran PSPB masa lalau.Untung ada umat Katolik yang mau nonton, kalo targetnya masyarakat umum pasti studionya sepi deh!