YANG pasti, tidak ada paksaan apa pun untuk menonton film Soegija, Jadi semua saja bebas. Dalam rangka menginsyafi komunikasi sosial (komsos), kiranya perlu ada ikon yang bisa memicu banyak orang untuk suatu hal yang baik dan luhur.
Reformasi, Ah sudah lupa tuh!
Sekarang ini, dirasa bahwa reformasi telah dikhianati. Mari kita lihat laporan Kompas, Senin 21 Mei 2012: bagaimana korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang dalam reformasi awal mau diberantas ternyata karena rasa nasionalisme (merasa satu keluarga bangsa Indonesia dan menjadikan negara Indonesia sebagai negara dengan kesejahteraan umum yang baik) kiranya dirasa tetap masih berlangsung budaya KKN.
Oknum-oknum penggiat praktik KKN juga ada di Badan Anggaran DPR. Dalam analisisnya Kompas, bisa disinyalir modus KKN nya adalah antar oknum anggota DPR dengan pengusaha, oknum Partai, dll. Mereka bersama-sama ber-KKN ria; bahkan dalam merencana anggaran sudah diolah sedemikian rupa. Padahal nasionalisme lebih mengutamakan kepentingan bersama sebagai bangsa Indonesia.
Rupanya, semangat 100 persen Indonesia belum terbangun semestinya.
Butuh ikon baru
Perlu ikon baru. Entah orang yang masih menjabat pemimpin sekarang, atau boleh jadi orang atau pemimpinan yang sudah dikenal di masa lalu sebagai orang yang nasionalis berjuang demi bangsa Indonesia.
Bandingkan Yesus menjadi ikon kristianitas. Juga para kudus, para martir menjadi ikon katolik, kalau orang katolik melihat salib, mereka tergerak hatinya dan seperti menyadari semua hal ajaran Yesus. Jadi, sekali lagi perlu ikon dalam persepsi umumnya rakyat Indonesia untuk tumbuh-kembang rasa semangat kebangsaan/nasionalis.
Ikon adalah pemicu. Bila ingat hal itu, maka tergerak rasa semangat kebangsaan Indonesia. Perlu sebagai warga bangsa Indonesia, banyak umat katolik menginsyafi dan bisa menjadikan atau menyadarkan rakyat bahwa para pahlawan nasional Indonesia sebagai ikon bagi semua rakyat Indonesia.
Dengan film Soegija diharapkan bisa menggulirkan pesan kepada masyarakat bangsa Indonesia dan umat Katolik ikut menggulirkan pesan dan berperan lewat komunikasi sosial, bahwa pahlawan adalah ikon kesadaran bersama tentang kebangsaan/nasionalisme Indonesia. Film hanyalah salah satu sarana, karena film itu bersifat komunikasi sosial/ umum untuk semua orang, apalagi bukan film agama bisa ditonton semua orang, dan film pahlawan tentu untuk semua umur.
Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta sudah berangan-angan. Tentunya, bukan sendiri, karena hal seperti ini tentu ada kelompok lebih besar ribuan umat katolik. Kalau bukan kelompok yang relatif besar, tentu tak akan ada film Soegija yang biaya besar dan melibatkan banyak orang dalam pembuatannya. Jadi, berangan-angan sesudah film pertama ini berhasil dan bisa ada dana lagi selanjutnya membuat film-film yang bernuansa humanis, multikultural, pluralis dan nasionalis dengan menampilkan pahlawan nasional lainnya.
Bhinneka Tunggal Ika
Bangsa Indonesia kiranya perlu untuk berkembang menjadi bangsa yang kuat. Dengan diteruskannya KKN di zaman reformasi menunjuk kurangnya cinta pada bangsa dan Negara. Sementara di era perang perjuangan kemerdekaan, rakyat bukan hanya peduli dan berbagi demi kemerdekaan rakyat Indonesia, tapi juga berkorban dengan pertaruhan nyawa, berkorban atau berbagi harta benda untuk mendukung perjuangan mengusir penjajahan yang akan kembali,
Di sinilah Soegija ikut serta dengan caranya sendiri. Salah satu ungkapan nasionalismenya, ialah 100 persen katolik dan 100 persen Indonesia. Mungkin kita perlu mengajak agar semua warga bangsa bersemangat demikian. Juga demikian dengan para penganut agama lainnya. Kita semua bertemu dalam ruang yang sama yaitu 100 persen Indonesia. Itu namanya Bhinneka Tunggal Ika.
Kalau film Soegija hanya dipikirkan sebagai sarana cari untung, kita semua perlu protes keras kepada Studio Audio Visual Puskat karena menjadi sebuah rekayasa. Tetapi sampai saat ini kita umat Katolik tetap masih berpegang pada keyakinan/kepercayaan tulus-ikhlas dalam kebersamaan sejati untuk menyerukan secara kontekstual dengan membangun bangsa Indonesia. Hal ini merupakan pendidikan kebangsaan bagi rakyat melalui Komsos berupa film. Sudah ribuan umat katolik Indonesia mendukung film Soegija dengan dana, dengan perhatian dan upaya menurut caranya sendiri-sendiri.
Film termahal yang pernah digarap Garin
Garin Nugroho sendiri mengakui bahwa ini film ini merupakan produksi layar lebar dengan biaya termahal yang pernah dia tangani. Padahal kita semua mengetahui bahwa produsernya bukan perusahaan perfilman yang dengan orientasi ingin mencari untung.
Ternyata menyumbang untuk bangsa Indonesia juga tidak mudah. Selalu ada kecurigaan dari segelintir orang yang menyebarkan isyu yang kurang mendukung dari sesama warga bangsa Indonesia. Ini salah satu pernik kecil keadaan nyata bangsa Indonesia.
Selamat merenung dan bisa jadi ini menjadi bahan permenungan pada peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia dan Hari Kebangkitan Nasional Indonesia tanggal 20 Mei.
Photo credit: Studio Audio Visual Puskat Yogyakarta
Artikel terkait: