“Soerat dari Negeri Lajang–lajang”, Drama Musikal Teater Narada Fakultas Psikologi Atma Jaya

0
1,077 views
Pembukaan acara dengan gerak dan lagu membuka pementasan drama musikal "Soerat dari Negeri Lajang-lajang" oleh para mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya. (Stefano Jordanite Rickoloes)

DI tengah keringnya pentas seni Teater di Jakarta, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Teater NARADA dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya di Jakarta menghadirkan drama musikal sangat apik di Gedung Kesenian Jakarta. Pentas ini dihelat berturut–turut, 9-10 Maret 2018.

Pentas seni drama musikal yang seakan mati suri itu seakan kembali dihidupkan oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya ini. Mereka memilih menggeluti seni drama musik yang tidak mudah untuk ditaklukkan karena didalamnya tergabung berbagai urusan yang menuntut profesionalisme.

Nama Teater Narada  ini sebenarnya dipilih sesuai dengan kemasan yang ditampilkan yaitu musik di mana tokoh (Batara) Narada dalam dunia pewayangan digambarkan berkelana dengan dengan membawa alat musik.

Teater Narada adalah karya Himpunan Mahasiswa Psikologi Unika Atma Jaya di Jakarta.

Namun, Narada di sini juga berarti ‘Nada’ dan ‘Rasa’ dalam ‘Drama’  yang berdiri sejak 2015 dan sudah tiga kali selama tiga tahun berturut–turut menampilkan acara serupa, semuanya berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta.

Romansa era pendudukan Jepang di Indonesia

Skenario “Soerat dari Negeri Lajang-lajang” ini diangkat dari pemenang lomba ide cerita, fokus cerita adalah romansa antara Rana (pemuda lokal) dengan gadis Jepang Keiko dengan latar belakang Perang Kemerdekaan Republik Indonesia melawan penjajah Jepang.

Adegan permainan layang-layang oleh sekelompok warga lokal.
Adegan Kapten Omura memerintahkan penduduk lokal memberikan upeti .

Gadis Keiko sendiri datang ke Indonesia,  karena “terpaksa” dibawa oleh Kapten Omura, komandan tentara Jepang, sebagai pengganti hutang ibunya kepada Omura. Di akhir cerita digambarkan, kepentingan bangsa lebih diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi.

Meski dihadapkan pada kesedihan mendalam,  Rana tidak bisa berjumpa lagi dengan gadis Jepang Keiko pujaannya namun ia tetap bangga mampu memimpin teman–teman sedaerahnya untuk berjuang melawan penjajahan Jepang.

Gabungan antara romansa dan kisah–kisah heroik pemuda pemudi lokal serta keindahan koreografi penari–penari yang juga pemeran lakon sambil menyanyikan setiap percakapan antara mereka sungguh ditampilkan secara apik dan nyaris sempurna.

Adegan kasmaran Rana dengan dibalut cemburu gadis lokal yang juga menaruh hati padanya.

Totalitas para pemeran dalam menjalankan peran masing–masing serta kelincahan dalam gerak tari dan lagu sungguh terlihat bagus.

Adegan–adegan kocak kadang terselip dalam percakapan–percakapan yang membuat pementasan semakin hidup. Penataan panggung yang sederhana namun mampu membawa penonton untuk bisa membayangkan situasi yang diharapkan oleh sang sutradara.

Penampilan para pemusik latar serta penyanyi latar juga tidak kalah apik dibandingkan dengan para pemeran drama. Tidak kalah pentingn adalah back light yang menunjang penampilan para pemeran di panggung menjadi lebih indah dan profesional.

Acara berlangsung sekitar 2,5 jam penuh dengan selingan istirahat selama 15 menit.

Adegan Rana diminta memilih antara cinta (kepada gadis Jepang Keiko) dan semangat tetap berjuang bagi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Adegan tentara Jepang meminta paksa upeti kepada penduduk lokal.

Pengemasan acara yang dimotori oleh dominansi kaum hawa ini terlihat semakin tertata rapih mulai sejak di pintu masuk. Meski security dilakukan oleh kaum hawa,  namun profesionalitas mereka sangat terlihat sejak pemeriksaan tas dan bawaan para penonton, juga terlihat adanya photo booth yang bisa dimanfaatkan oleh siapa saja dengan latar belakang backdrop acara, kemudian penonton dibawa masuk melewati ruang persiapan pemain dan masuk dari belakang panggung menuju kursi penonton.

Setibanya di area kursi penonton sudah ada lagi penyambutan dari escort committee untuk membawa para penonton menuju kursi masing–masing. Pengamatan yang sungguh detil dari committee untuk menyajikan sebuah acara yang dikemas dengan serius.

Pelajaran dari ‘lapangan’

Pelajaran sangat berharga untuk para mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya ini mampu mengembangkan bakat–bakat seninya serta performance management yang terdiri dari Art Director, Art Music Director bersama para musisinya, Financing Performance Management, Stage Management, Lighting, Security and Logistic, Make up & Costumes, Choreography, Time Management, Marketing and sponsorship dan tentu saja para pemerannya di atas panggung pentas.

Tidak tertutup kemungkinan dari kegiatan ini akan muncul bibit profesional dari bidang masing–masing tadi dan mampu menembus di teater ataupun perfilman nasional.

Sungguh patut diacungi jempol maha karya para mahasiswa Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya di Jakarta ini. Mereka sudah berani tampil beda; tidak hanya turun ke jalanan berdemo namun mampu menampilkan bakat–bakat seninya.

Mereka yang tergabung dalam Teater Narada memiliki slogan  yang berbunyi  “Abhinaya, Abhirama dan Baswara” yang berarti “bersemangat, menyenangkan dan bercahaya”.

Kredit foto:  Stefano Jordanite Rickoloes, Jasical et al.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here