SUATU hari, Liem Tjay terkesan dengan sebuah kejadian kecil di depan Sekolah Dasar Banyumas. Sonya (8) -sebut saja begitu namanya, menjadi sangat marah karena diolok teman-teman sekolah.
“Sonya, kau sudah hitam, jelek, mucil (nakal) lagi, beraninya kau meludahi sama ibu guru. Pantas kelakuanmu kayak gitu, dasar anak panti asuhan, tidak jelas darimana asalmu, siapa orangtuamu?” olok Nanik teman sekelasnya.
Sonya makin emosi dan marah, karena diolok di depan teman-teman.
Melihat kejadian itu dan mendengar kata kata Nanik terhadap Sonya, pikiran Liem Tjay langsung melambung lorong-lorong waktu beberapa tahun yang lalu, bagaimana pengalaman dijelek-jelekkan.
Memang sungguh sangat menyakitkan.
Pernah dijelekan
Ketika Liem Tjay mendampingi retret, ada remaja puteri sebut saja nama Liza, berkisah:
“Saya tidak mau ke gereja lagi. Saya takut dan malu. Saya dijadikan bahan gosip. Ibu-ibu paroki memandangi diriku terus, seakan-akan menuduhku ‘anak haram’.
Yaah memang aku sadar bapakku tidak jelas di mana sekarang berada. Ibuku hanya tukang cuci saja. Berjuang membesarkan diriku. Tapi aku merasa diolok, dijelekan dengan kata anak haram, makanya saya malas ikut kegiatan di gereja.”
Liza menunduk sejenak dan sekali-kali menghela nafas dalam, lalu mencoba lagi berungkap pengalaman pahit.
Pastor pun ikut mengoloknya.
“Apalagi, pastor di paroki pun ikut ikut mengolok-olok. Aku masih ingat kata-kata pastor: Liza, kamu ini sok cantik, sok kaya saja, selalu caper (cari perhatian). Sadar ya. Mamimu tidak pernah ke gereja. apalagi kasih sumbangan.”
Lalu, Liza sampai pada kesadaran menemukan gambaran diri atas peristiwa diolok.
Liza mengungkapkan demikian.
”Diri saya memang jelek, karena saat saya dilahirkan tanpa seorang ayah. Mamaku tidak pernah menjelaskan siapa dan di mana ayahku yang sebenarnya. Saya jadi bingung dan kesal terhadap hidup ini… Hidupku tak ada harganya.”
Liza punya pengalaman “dijelekkan dan diolok-olok”. Setiap orang tentu pernah dijelek-jelekkan atau difitnah. Dan –sialnya– sasaran kejelekan itu adalah nama diri kita.
Kalau orang menjelekkan mata Liem Tjay sipit dan juling atau wajah Liem Tjay penuh dengan jerawat, jelek dan seterusnya… tidak masalah bagi Liem Tjay.
Tetapi jika orang lain sudah menjelekkan nama diri, nama orangtua, nama keluarga, maka akan berakibat lain.
Arti sebuah nama
William Shakespeare berkata: “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”
Nomen est omen. Nama adalah pertanda.
Dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik. Tidak mengherankan, jika nama baik itu senantiasa dijunjung tinggi. Lihat saja berapa kasus tentang “pencemaran nama baik” yang sering masuk dalam media-sosial
Cyber bullying merupakan sebuah tindakan kekerasan dengan menggunakan media social sebagai alat utama untuk melecehkan, mengancam, mempermalukan, dan mengejek, mengolok orang lain.
Dalam hal ini tidak perlunya tatap muka atau pun bertemu langsung dengan orang yang diolok, namun hanya melaui media sosial saja. (Berlanjut)
Baca juga: Yesus Diolok-olok, Kampanye Hitam (1)