BEBERAPA hari terakhir ini, muncul berita spekulatif soal pengunduran diri Paus Fransiskus.
Spekulasi ini muncul, bisa saja karena adanya umat yang melihat kondisi Paus Fransiskus yang sudah tua. Apalagi selama beberapa pekan terakhir ini, Paus harus menggunakan kursi roda dalam aktivitas hariannya.
Yang namanya spekulasi tentu saja bukan sebuah dosa. Tapi berita spekulatif yang ada, bisa memunculkan keresahan di antara umat. Atau malah membangkitkan dan menggugah umat untuk berdoa secara khusus dan khusyuk bagi kesehatan Bapa Suci: Paus Fransiskus.
21 Kardinal baru mulai 29 Mei 2022
Berita spekulatif soal pengunduran diri Paus ini makin heboh, ketika dikaitkan dengan pemilihan 21 kardinal baru pada tanggal 29 Mei 2022 lalu. Apalagi hari-hari ini akan berlangsung “pertemuan para kardinal’ yang biasa disebut Konsistori.
Konsistori Kardinal ini akan berlangsung mulai tanggal 27 Agustus 2022. Juga ada rencana Paus Fransiskus akan mengunjungi makam Paus Selestinus V, sehari sesudahnya.
Paus Selestinus V adalah Paus pertama yang mengundurkan diri. Karena itu ada dua hal penting disini yang mungkin bisa dijelaskan.
Konsistori Kardinal
Pertama soal konsistori dan yang kedua soal apakah ada jejak yuridis soal pengunduran diri Paus.
Kita mulai dari yang pertama tentang konsistori.
Konsistori itu sendiri adalah pertemuan di antara para kardinal (kolegium kardinal). Konsistori dapat berlangsung karena inisiatif dan undangan dari Paus sendiri.
Paus biasanya mengumumkan adanya konsistori, baik yang biasa atau pun yang luar biasa, untuk berkonsultasi dengan kolegium Kardinal atau untuk mengkomunikasikan atau memperkenalkan nama-nama kardinal yang baru terpilih.
Dan konsistori yang akan berlangsung pada tanggal 27 Agustus 2022 adalah kesempatan untuk memperkenalkan dan mengukuhkan 20 kardinal baru.
Dalam tradisinya, para kardinal baru itu diterima secara resmi melalui konsistori itu. Diterima untuk masuk dalam kolegium para kardinal.
Kanon 351§2 bisa menjadi rujukan kecil kita. Dalam kanon ini ditegaskan, bahwa “Para Kardinal diangkat oleh Paus dengan sebuah dekrit, yang diumumkan di hadapan kolegium Kardinal; sejak pengumuman itu mereka terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak yang ditetapkan hukum”.
Dalam sejarah pun, para Paus -termasuk Paus Fransiskus- undangan adanya konsistori biasanya sehari sebelum tanggal 29 Juni setiap tahun untuk memperkenalkan para kardinal baru. Dan pada tanggal 29 Juni biasanya ada penyerahan palium untuk para uskup agung yang baru terpilih.
Konsistori ini bisa juga ditentukan oleh Paus pada tanggal dan hari lainnya, seperti yang terjadi di beberapa tahun terakhir ini. Karena itu, dasar argumen soal pengunduran diri Paus dalam kaitan dengan terpilihnya 21 kardinal baru, konsistori dan rencana kunjungan Paus ke makam Paus Selestinus V rasa-rasanya tidak begitu kuat.
Lalu soal pengunduran diri Paus.
Jauh setelah Paus Selestinus V, pada Februari 2013 yang lalu Gereja sejagad dikejutkan dengan pengunduran diri dari Paus Benediktus XVI. Kejadian itu sudah terjadi sembilan tahun lalu, tapi tetap saja meninggalkan banyak tanya di dalam kepala kita. Bahkan sampai beberapa hari yang lalu ada yang masih bertanya soal ini.
Dasar yuridis Paus boleh mundur
Inti pertanyaannya apakah ada dasar yuridis dari pengunduran diri seorang Paus?
Boleh dikatakan bahwa pilihan Benediktus XVI untuk mengundurkan diri saat itu menjadi sebuah “kasus takhta lowong yang langka”. Tapi di sisi lain dapat dilihat sebagai bentuk manifestasi paling nyata dari prinsip yang menopang seluruh struktur Gereja: “Di antara umat beriman Kristus setiap tugas dibuat untuk melayani dan bukan untuk dilayani”.
Ungkapan ini mengingatkan kita akan akar teologis dan yuridis dari apa yang dipilih oleh Benediktus XVI.
Persoalan mengundurkan diri atau meninggalkan “jabatan”, sebenarnya sudah diatur pada alinea kedua kanon 332 Kitab Hukum Kanonik.
Adapun bunyi kutipan kanon itu sebagai berikut.
“Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapa pun.” (bdk.kan.332§2).
Mari kita telusuri sejenak isi dari kanon ini.
Pertama-tama, harus dikatakan bahwa Paus, dari sudut pandang yuridis yang ketat, dikonfigurasikan sebagai jabatan gerejawi. Dan untuk setiap jabatan, mulai dari imam paroki hingga jabatan “tertinggi” sebagai Paus, pengunduran diri sudah diperkirakan atau diramalkan.
Kemungkinan ini tidak dimasukkan dalam logika kekuasaan tetapi tanggungjawab terhadap misi yang terkait dengan jabatan itu sendiri. Siapa yang diangkat untuk suatu jabatan, sebenarnya melayani misi yang dipercayakan kepadanya, bukan sebaliknya, dan bertanggungjawab kepada Tuhan untuk itu.
Setiap jabatan gerejawi bahkan jabatan tertinggi seperti Paus – tidak ada untuk diri mereka sendiri tetapi untuk pemeliharaan jiwa-jiwa. Jadi, untuk semua jabatan ini, selain ada cara mengambil jabatan -dalam kasus Paus melalui pemilihan oleh para kardinal dengan penerimaan selanjutnya dari yang terpilih- ada juga cara kehilangan dari jabatan-jabatan itu (kematian, perpindahan, hukuman, pengunduran diri).
Pertanyaan logis lain yang bisa muncul di sini adalah apakah “jabatan Paus” memberi kondisi khusus untuk pengunduran diri?
Adapun semua jabatan gerejawi, pengunduran diri sebagai tindakan yuridis harus dilakukan melalui tindakan bebas, tanpa paksaan dan kekerasan dalam kapasitas kesadaran yang penuh.
Selain itu, agar berlaku penuh, setiap pengunduran diri harus diterima oleh atasan yang berhubungan dengan masing-masing jabatan: dalam kasus Paus, karena tidak ada tingkatan yang lebih tinggi, pengunduran diri itu tidak boleh diterima oleh siapa pun, kecuali hanya dimanifestasikan secara bebas.
Faktanya bisa dilihat di dalam apa yang disampaikan Paus Benediktus XVI saat itu, ia tidak menggunakan ungkapan “Saya meminta” tetapi “Saya menyatakan”.
Sekali lagi, ia sampaikan semuanya saat itu dengan bebas, tanpa paksaan, penuh kesadaran dan disampaikan secara publik. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa soal pengunduran diri Paus, secara teoritis dan normatif sudah dipikirkan dan diatur dalam hukum universal kita, karenanya menjadi sesuatu yang normal untuk diterima.
Dan sudah pernah terjadi dengan ketiga orang Paus: Paus Selestinus V (1294), Paus Gregorius XII (1415) dan Paus Benediktus XVI (2013).
Akhirnya dari setiap gradasi pengunduran diri dari jabatan gerejawi apa saja mengajak kita untuk merenungkan akan hal ini. Yakni, bahwa misi di dalam Gereja membutuhkan kerendahan hati.
Ini untuk menghindari personalisme dan kesiapan untuk pembaruan.