HARI Ulang Tahun Kemerdekaan RI masih bulan depan, tetapi muda-mudi kampung sudah mulai melatih anak-anak untuk menampilkan atraksi pada malam perayaan. Ada menyanyi, menari tradisional dan menari modern dance.
Jessy menjadi salah satu anak-anak yang akan dipilih penampilan mana yang akan dia ikuti.
Jessy kehilangan control, saat akan menyanyikan sebuah lagu di depan teman-temannya. Dia terdiam beberapa menit di depan dan hanya melihat orang-orang yang ada di depannya. Dia melihat dua teman dekatnya berbisik-bisik dan tertawa. Mbak Santi lalu memilih anak berikutnya untuk menyanyikan lagu yang disukai.
Jessy kembali ke tempat duduk tanpa banyak bicara. Teman-temannya menertawakan dia dan mengatakan bahwa Jessy tidak bisa menyanyi berulang kali. Tak ada perlawanan dan pembelaan diri dari Jessy. Dia hanya diam.
Siang hari pada hari berikutnya. Jessy bermain di lapangan sebelah rumah dengan teman-teman sebaya. Mereka bermain rumah-rumahan. Jessy berperan sebagai tetangga baru. Percakapan bermain peran itu menggunakan Bahasa Indonesia.
Bagi Jessy, Bahasa Indonesia adalah bahasa baru baginya. Dia terbiasa dengan bahasa ibu. Jessy belajar berbahasa Indonesia. Sambil mengingat kosa kata baru untuknya. Belum begitu lancar, tetapi Jessy tetap mencobanya.
Dua temannya tertawa terbahak-bahak mendengar Jessy berbahasa. Logat Jyang kental dan masih bercampur dengan Bahasa Indonesia.
Jessy menjadi sedih dan menangis sambil berjalan pulang ke rumah saat dua teman itu mengatakan bahwa Jessy tidak pantas berbahasa Indonesia.
Yang masih ada
Kedua pengalaman ditertawakan teman-temannya itu memberi luka bagi Jessy.
Jessy dianggap tidak bisa menyanyi dan tidak pantas berbahasa Indonesia. Saat itu, Jessy masih berusia 6 tahun.
Kini dia sudah 26 tahun.
Rentan waktu yang sangat lama. Namun celaan dan hinaan itu masih ada dan hidup didalam diri Jessy. Bahkan Jessy memiliki anggapan bahwa dirinya memang tidak bisa menyanyi dan tidak pantas berbahasa Indonesia. Anggapan negatif masa kecilnya melekat dalam dirinya.
Membangun pertahanan diri
Di usianya yang menginjak 26 tahun, Jessy telah bekerja di salah satu stasiun radio swasta. Dia menerima tawaran itu tanpa tes. Hanya karena mendengar suara Jessy bercerita dan tertawa saat dia datang di stasiun radio tersebut. Para kru stasiun radio tersebut meminta Jessy untuk sering-sering datang berkunjung.
Awal kisah sederhana. Jessy mengantar temannya ke stasiun radio itu lalu berkenalan dengan teman-teman di situ dan ditarik menjadi pembawa acara salah satu sesi. Greatest memories.
Jessy mengikuti arahan para senior. Melatih diri dan memperbaiki diri. Jessy tahu kelemahannya dalam berbahasa. Namun hal itu tidak membuatnya menyerah dan terpuruk dalam celaan dan kata-kata orang. Dia percaya. Saat orang lain meminta melakukan membawakan acara sama artinya bahwa orang lain melihat ada kemampuan dalam dirinya.
Setelah beberapa tahun dia bergabung di stasiun radio, Jessy mengundurkan diri. Dia memutuskan untuk bergabung di Lembaga Pendidikan Bahasa Asing milik swasta.
Spot itu telah dibajak
Di suatu senja di tepi Sungai Kapuas, Jessy duduk menikmati situasi barunya. Dia berlibur beberapa hari di Pulau Seribu Sungai. Akhir bulan Juli 2010.
Ingatannya kembali ke masa kecil. Dihina dan ditertawakan teman-temannya. Dikatakan tidak pantas berbahasa Indonesia dan tidak bisa menyanyi. Kini hidup telah berubah. Dia telah menjadi penyiar radio dan sekarang sebagai pengajar di Lembaga Pendidikan Bahasa Asing. Sungguh di luar angan-angannya.
Semua yang terjadi justru sebaliknya. Apa yang dulu dihina sekarang dipuja. Yang dulu dianggap tidak pantas sekarang menjadi pengajar bahasa. Spot hinaan dan celaan itu telah dibajak oleh tekad Jessy. Tekad untuk belajar dan berlatih tanpa menghiraukan hinaan dan kata-kata orang lain yang melemahkan dia. Spot itu juga telah dibajak dengan sikap Jessy yang membuktikan bahwa dia adalah orang yang pantas berbahasa asing bahkan menjadi guru.
Jessy tersenyum bahagia. Dia bangga dengan dirinya sendiri yang berani untuk tidak peduli dengan kata-kata hinaan orang lain. Ia bersyukur bahwa dia boleh berada dalam tangan Tuhan. Diam saat dihina. Tidak membalas saat dicela. Berlatih dan belajar tanpa henti bukan untuk menyombongkan diri tetapi untuk meningkatkan pelayanannya sebagai pengajar bahasa asing.
Jessy menuturkan hal yang diyakininya bahwa setiap orang diberi karunia dan kemampuan yang perlu dikembangkan dan dibagikan kepada orang lain bukan untuk diri sendiri.